BEBERAPA hari setelah itu Tae-Woo terus berada di Jakarta. Park Hyun-Shik sibuk membatalkan dan menyusun ulang jadwal kerja Tae-Woo. Tae-Woo ingin berada di dekat Sandy. Ia juga menggunakan kesempatan itu untuk lebih mengenal kedua orangtua Sandy. Setelah mengenal mereka secara pribadi, ia baru mengetahui dengan pasti bahwa sebenarnya kedua orangtua Sandy tidak membencinya karena kejadian empat tahun lalu.
“Masih sama. Belum sadar,” kata Tae-Woo
sambil duduk di bangku panjang di koridor rumah sakit. Ia menggenggam ponsel
yang ditempelkan di telinga dan bersandar ke dinding. Ibunya menelepon dari
Amerika untuk menanyakan keadaan Sandy. “Tentu, Ibu. Kalau ada kabar apa pun,
aku akan menelepon Ibu... Ya, Hyong masih di sini menemaniku... Ibu
tidak usah mencemaskan aku. Aku bisa menjaga diri... Ya, bye.”
Tae-Woo menutup ponsel dan memejamkan
mata. Sudah beberapa hari ini tidurnya tidak nyenyak. Ia lelah, tapi tidak bisa
terlelap. Orangtua Sandy juga begitu. Ayah Sandy sudah kembali bekerja tapi
datang menjenguk putrinya tiap sore. Ibunya selalu berada di rumah sakit. Tadi
sepupu Sandy yang bernama Tara datang dan kini menemani ibu Sandy pergi makan
siang di kafetaria rumah sakit.
Sambil menarik napas panjang, Tae-Woo
kembali ke kamar Sandy. Ia duduk di tempatnya seperti biasa, di sisi tempat
tidur. Dokter pernah berkata, bila Sandy sadarkan diri, ia akan baik-baik saja.
Masalahnya, dokter tidak tahu kapan Sandy akan sadar. Gadis itu tetap terbaring
tak bergerak, tidak membuka mata.
Tae-Woo
menggenggam tangan Sandy. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia mengerutkan kening.
Apakah ia salah lihat tadi? Sepertinya kelopak mata Sandy bergerak. Tidak, ia
hanya bermimpi.
Tapi kemudian ia merasakan tangan Sandy
yang sedang digenggam bergerak. Ia tersentak dan menatap wajah Sandy dengan
jantung berdebar keras.
Kelopak mata gadis itu bergerak, lalu
perlahan-lahan matanya terbuka.
Tae-Woo merasa begitu lega sampai
kakinya terasa lemas. Sandy sadar! Ia sudah sadar. Tae-Woo menjulurkan tangan
dan menyentuh pipi Sandy. Gadis itu menoleh lemas dan matanya bertemu mata
Tae-Woo.
“Kau sudah sadar,” kata Tae-Woo
kepadanya, senyumnya mengembang. Ia begitu lega, begitu bahagia sampai ia ingin
melompat. “Bagaimana perasaanmu?”
Sandy membuka mulut, tapi terlalu tak
bertenaga untuk berbicara. Tae-Woo cepat-cepat menggeleng. “Jangan bicara dulu.
Kau masih lemah. Tunggu sebentar, kita harus memanggil dokter.”
Tae-Woo menekan tombol merah di dekat
tempat tidur dan kembali memandangi Sandy. Kelihatannya gadis itu masih
setengah terjaga, karena matanya sesekali terpejam, lalu terbuka lagi, tapi
dari matanya Tae-Woo tahu Sandy mengenalinya.
Gadis
itu memandangnya, lalu membuka mulut lagi. Tae-Woo mendekatkan telinganya ke wajah
Sandy untuk mendengarkan kata-katanya.
“Aku...
rindu... padamu.”
Tae-Woo tertegun. Suara Sandy memang
lebih mirip bisikan, tapi ia mendengar kata-kata itu dengan jelas. Tae-Woo
tersenyum dan berkata pelan, “Aku juga.”
Tidak lama kemudian, terdengar pintu
dibuka. Tae-Woo menoleh dan melihat dokter dan perawat bergegas masuk. Ia
menoleh kembali kepada Sandy dan berkata, “Dokter sudah datang. Aku akan pergi
sebentar untuk memanggil ibumu. Kau sudah tidak apa-apa. Kau akan baik-baik
saja.”
~~~#~~~
“Ibumu
sudah tahu aku yang akan mengantarmu pulang,” kata Jung Tae-Woo sambil
meletakkan tas Sandy di sofa kamar.
Hari ini Sandy sudah boleh meninggalkan
rumah sakit. Keadaannya sudah membaik walaupun tubuhnya masih agak lemah. Lagi
pula setelah seminggu siuman di rumah sakit, Sandy mulai merasa bosan setengah
mati.
Ketika tabrakan keras itu terjadi, hal
terakhir yang diingatnya adalah Jung Tae-Woo. Bahwa ia belum bertemu laki-laki
itu lagi. Belum bicara dengannya. Ia takut tidak akan pernah punya kesempatan
melihat Jung Tae-Woo lagi. Lalu semuanya gelap. Ia tidak tahu apa-apa lagi.
Ia nyaris tidak percaya pada apa yang
dilihatnya ketika pertama kali membuka mata. Ia melihat wajah Jung Tae-Woo.
Seperti sedang bermimpi. Kalau bermimpi, saat itu ia tidak ingin bangun. Tapi
ternyata itu kenyataan. Jung Tae-Woo sungguh ada di sana, di sisinya,
menggenggam tangannya dan berbicara padanya.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
Sandy tersentak dari lamunan dan
melihat Jung Tae-Woo sedang menatapnya dengan alis terangkat. Sandy tersenyum
dan menggeleng.
Jung Tae-Woo mendorong kursi roda ke
samping tempat tidur. “Ayo, kubantu,” katanya.
Sandy membiarkan Jung Tae-Woo
menggendongnya dan mendudukkannya di kursi roda. Walaupun sebagian perbannya
sudah dilepas, kakinya masih tidak kuat untuk berjalan atau berdiri, karena itu
mereka membutuhkan kursi roda.
“Sebelum
pulang ke rumah, aku ingin membawamu ke suatu tempat,” kata Jung Tae-Woo sambil
meraih tas Sandy dan mendorong kursi roda Sandy keluar pintu.
“Kita mau ke mana?” tanya Sandy heran.
“Aku ingin mengajakmu makan siang.
Untuk merayakan kesembuhanmu.”
“Di mana?”
“Kau akan tahu.”
“Kita naik apa?”
“Tentu saja naik mobil. Eh... kau tidak
takut, kan?” tanya Jung Tae-Woo agak ragu.
Sandy menggeleng. “Bukan begitu
maksudku. Ini bukan di Korea. Di Indonesia kemudi mobil ada di sebelah kanan.
Memangnya kau bisa?”
Jung Tae-Woo tertawa. “Ada orang yang
akan mengemudikan mobil. Aku juga sudah memperingatkannya untuk mengemudi
dengan hati-hati sekali.”
“Siapa?”
“Kalau kukatakan, kau tidak akan kenal
siapa dia.”
Sandy memiringkan kepala dan tidak
bertanya-tanya lagi. Bertanya juga tidak ada gunanya kalau Jung Tae-Woo sudah
tidak mau mengatakan apa-apa.
Ternyata Sandy memang tidak mengenal
pria setengah baya yang mengemudikan mobil itu. Sandy melihat Jung Tae-Woo
berbicara padanya dalam bahasa Inggris, lalu pria setengah baya itu mengangguk
mengerti. Mereka pun berangkat.
~~~#~~~
Mereka berhenti di hotel terkenal di daerah Jakarta Selatan.
“Kita mau makan di sini?” tanya Sandy ragu-ragu.
“Ya. Aku sudah memesan tempat. Ayo, kubantu keluar,” kata Jung Tae-Woo.
Sandy cepat-cepat menahannya. “Tunggu sebentar, Jung Tae-Woo ssi. Aku... maksudku, aku tidak masuk ke tempat seperti itu dengan kursi roda. Maksudku—”
Kata-kata Sandy terputus ketika Jung Tae-Woo memegang wajahnya dengan kedua tangan.
“Tidak apa-apa. Ada aku,” katanya sambil tersenyum menenangkan.
Sandy tidak berkata apa-apa lagi. Ia membiarkan dirinya didudukkan di kursi roda dan didorong masuk ke lobi hotel.
Seorang
pegawai hotel sepertinya sudah mengenal Jung Tae-Woo. Ia langsung tersenyum
ramah dan langsung menunjukkan jalan menuju restoran.
Sandy
merasa agak aneh ketika masuk ke restoran itu dan tidak melihat seorang pun di
sana. Hanya ada beberapa pelayan yang berdiri di sudut ruangan, menunggu
perintah. Sandy juga memerhatikan ada beberapa pria yang memainkan alat musik
di panggung kecil di tengah restoran.
Pegawai
hotel yang mengantar mereka menunjukkan meja yang sudah disiapkan untuk mereka,
di bagian depan, dekat panggung. Sandy juga melihat ada grandpiano hitam
serta pemusik yang duduk di sana dan memainkannya.
Ketika Jung Tae-Woo sudah duduk
berhadapan dengannya, Sandy membuka mulut. “Kenapa aku merasa kau sudah
mengatur semua ini?”
“Mengatur
apa?” Jung Tae-Woo balas bertanya dengan raut wajah tanpa dosa.
Sandy
tersenyum. “Tidak ada orang di restoran ini, kecuali pelayan dan beberapa
pemain musik. Jangan-jangan penyebabnya adalah kau.”
Jung
Tae-Woo hanya tertawa.
Tak
lama kemudian makanan mereka diantarkan. Sepertinya sudah lama sekali sejak
Sandy makan bersama Jung Tae-Woo. Ia sangat menikmatinya. Ia selalu merasa
senang berada di dekat Jung Tae-Woo. Bila ia bersama laki-laki itu, ia merasa
lebih tenang, lebih bahagia.
Saat
mereka selesai makan, Sandy baru akan mengatakan sesuatu ketika Jung Tae-Woo
mengangkat tangan untuk menghentikan ucapannya.
“Aku
tahu apa yang kauinginkan,” kata Jung Tae-Woo yakin.
Alis
Sandy terangkat.
“Dari
tadi kau terus melirik piano di sana itu,” kata Jung Tae-Woo. “Aku sudah tahu
kau akan memintaku bermain piano. Benar tidak?”
Sandy
kaget dan tertawa. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya.
“Tentu
saja,” sahut Jung Tae-Woo. “Karena aku mengenalmu.”
Sandy
memerhatikan Jung Tae-Woo saat ia bangkit dari kursi dan berjalan ke arah piano.
Pria yang tadinya bermain piano berdiri dan mempersilakan Jung Tae-Woo duduk.
Saat itu juga lampu sorot entah di mana menyala menyinari piano itu. Jung
Tae-Woo duduk di depan piano dan memosisikan jari-jari tangan di tuts-tutsnya.
Jung
Tae-Woo menatap Sandy dan bertanya, “Kau ingin aku memainkan lagu apa?”
“Apa
saja,” jawab Sandy cepat.
“Aku
sudah menulis sebuah lagu,” kata Jung Tae-Woo sambil menekan beberapa nada di
piano. “Sebenarnya lagu ini kutulis untukmu, tapi belum ada liriknya, juga
belum ada judulnya. Untuk sementara ini hanya ada nadanya.”
Biarpun
begitu, Sandy tetap merasa tersanjung.
Jung Tae-Woo mulai memainkan piano.
Sandy sangat suka mendengar Jung Tae-Woo bermain. Setiap nada yang keluar dari
piano itu begitu hidup, membentuk melodi indah. Walaupun masih belum ada
liriknya, Sandy sangat senang dengan kenyataan bahwa Jung Tae-Woo menulis lagu
itu untuknya.
Ketika lagu itu berakhir, Sandy
bertepuk tangan bersama para pemusik lain. Sandy mengira Jung Tae-Woo akan
kembali ke meja mereka, tapi laki-laki itu malah mengambil mikrofon. Lalu salah
seorang pemusik tadi mengambilkan bangku tinggi dan meletakkannya di
tengah-tengah panggung. Para pemusik lain bersiap-siap kembali dengan alat
musik mereka. Apa yang sedang dilakukan Jung Tae-Woo?
Jung
Tae-Woo tersenyum padanya. Laki-laki itu menyalakan mikrofon dan berkata,
“Sebenarnya aku ingin menyanyikan laguku sendiri untukmu, tapi tidak ada yang
cocok dengan apa yang ingin kukatakan padamu sekarang. Jadi, aku akan
menyanyikan lagu lain.” Ia terdiam sejenak dan melanjutkan, “Ada satu lagu yang
rasanya cocok.”
Jung
Tae-Woo akan menyanyi? Sandy menunggu dengan hati berdebar.
Jung
Tae-Woo memberi tanda kepada para pemusik dan musik mulai mengalun. Ia pun
mulai bernyanyi.
Sandy
menahan napas ketika mengenali lagu itu. Salah satu lagu favoritnya sepanjang
masa. Lagu yang dinyanyikan Kang Ta yang berjudul Confession.
Dulu, setiap kali mendengarkan lagu ini di CD Kang Ta atau di radio, ia selalu
bermimpi suatu saat nanti ada seseorang yang akan menyanyikan lagu ini khusus
untuknya. Kini mimpinya menjadi kenyataan. Jung Tae-Woo sedang menyanyikan lagu
itu. Khusus untuknya.
Ya...
aku ingin hatimu datang padaku
Aku
ingin melangkah ke dalam matamu yang sedih
Tidak
bisa... kau tidak bisa menerima hatiku semudah itu
Tapi
kuharap kau membuka hatimu dan menerimaku
Aku
bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah
kau tahu yang paling berharga hanya dirimu?
Seluruh
cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu
Aku
ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak
banyak yang kumiliki
tapi
akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong
terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Aku
bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah
kau tahu yang paling berharga adalah dirimu?
Seluruh
cintaku akan menjadi bintang
yang
akan melindungimu di sisimu
Aku
ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak
banyak yang kumiliki
tapi
akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong
terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Terima
kasih...
Aku
akan hidup demi dirimu yang bersedia menerima hatiku
Walaupun
cahaya di wajahmu meredup
aku
akan tetap mencintaimu...
Aku
akan tetap mencintaimu...
Aku
akan tetap mencintaimu...
(Terjemahan
lagu Confession)
Ketika
lagu itu berakhir, Sandy baru menyadari air matanya mengalir tanpa
sepengetahuannya.
Jung
Tae-Woo turun dari panggung dan menghampirinya. Sandy mendongak menatap Jung
Tae-Woo yang tersenyum. Lalu laki-laki itu berlutut di samping kursi rodanya.
“Anak
bodoh. Kenapa menangis?” tanya Jung Tae-Woo sambil menghapus air mata di pipi
Sandy dengan jarinya.
Sandy
tidak tahu harus menjawab apa. Ia diam saja sambil memandangi wajah laki-laki
di depannya.
Jung
Tae-Woo menatapnya lurus-lurus. “Aku mencintaimu.”
Sandy
tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya saat itu. Yang ia tahu pipinya
terasa panas, air matanya kembali mengalir, lalu Jung Tae-Woo mencondongkan
tubuh untuk menciumnya.