Sunday 6 October 2013

Summer In Seoul (Bab 16 & Epilog)

Bab Enam Belas

BEBERAPA hari setelah itu Tae-Woo terus berada di Jakarta. Park Hyun-Shik sibuk membatalkan dan menyusun ulang jadwal kerja Tae-Woo. Tae-Woo ingin berada di dekat Sandy. Ia juga menggunakan kesempatan itu untuk lebih mengenal kedua orangtua Sandy. Setelah mengenal mereka secara pribadi, ia baru mengetahui dengan pasti bahwa sebenarnya kedua orangtua Sandy tidak membencinya karena kejadian empat tahun lalu.
“Masih sama. Belum sadar,” kata Tae-Woo sambil duduk di bangku panjang di koridor rumah sakit. Ia menggenggam ponsel yang ditempelkan di telinga dan bersandar ke dinding. Ibunya menelepon dari Amerika untuk menanyakan keadaan Sandy. “Tentu, Ibu. Kalau ada kabar apa pun, aku akan menelepon Ibu... Ya, Hyong masih di sini menemaniku... Ibu tidak usah mencemaskan aku. Aku bisa menjaga diri... Ya, bye.”
Tae-Woo menutup ponsel dan memejamkan mata. Sudah beberapa hari ini tidurnya tidak nyenyak. Ia lelah, tapi tidak bisa terlelap. Orangtua Sandy juga begitu. Ayah Sandy sudah kembali bekerja tapi datang menjenguk putrinya tiap sore. Ibunya selalu berada di rumah sakit. Tadi sepupu Sandy yang bernama Tara datang dan kini menemani ibu Sandy pergi makan siang di kafetaria rumah sakit.
Sambil menarik napas panjang, Tae-Woo kembali ke kamar Sandy. Ia duduk di tempatnya seperti biasa, di sisi tempat tidur. Dokter pernah berkata, bila Sandy sadarkan diri, ia akan baik-baik saja. Masalahnya, dokter tidak tahu kapan Sandy akan sadar. Gadis itu tetap terbaring tak bergerak, tidak membuka mata.  

Tae-Woo menggenggam tangan Sandy. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia mengerutkan kening. Apakah ia salah lihat tadi? Sepertinya kelopak mata Sandy bergerak. Tidak, ia hanya bermimpi.
Tapi kemudian ia merasakan tangan Sandy yang sedang digenggam bergerak. Ia tersentak dan menatap wajah Sandy dengan jantung berdebar keras.
Kelopak mata gadis itu bergerak, lalu perlahan-lahan matanya terbuka.
Tae-Woo merasa begitu lega sampai kakinya terasa lemas. Sandy sadar! Ia sudah sadar. Tae-Woo menjulurkan tangan dan menyentuh pipi Sandy. Gadis itu menoleh lemas dan matanya bertemu mata Tae-Woo.
“Kau sudah sadar,” kata Tae-Woo kepadanya, senyumnya mengembang. Ia begitu lega, begitu bahagia sampai ia ingin melompat. “Bagaimana perasaanmu?”
Sandy membuka mulut, tapi terlalu tak bertenaga untuk berbicara. Tae-Woo cepat-cepat menggeleng. “Jangan bicara dulu. Kau masih lemah. Tunggu sebentar, kita harus memanggil dokter.”
Tae-Woo menekan tombol merah di dekat tempat tidur dan kembali memandangi Sandy. Kelihatannya gadis itu masih setengah terjaga, karena matanya sesekali terpejam, lalu terbuka lagi, tapi dari matanya Tae-Woo tahu Sandy mengenalinya.
Gadis itu memandangnya, lalu membuka mulut lagi. Tae-Woo mendekatkan telinganya ke wajah Sandy untuk mendengarkan kata-katanya.
“Aku... rindu... padamu.”
Tae-Woo tertegun. Suara Sandy memang lebih mirip bisikan, tapi ia mendengar kata-kata itu dengan jelas. Tae-Woo tersenyum dan berkata pelan, “Aku juga.”
Tidak lama kemudian, terdengar pintu dibuka. Tae-Woo menoleh dan melihat dokter dan perawat bergegas masuk. Ia menoleh kembali kepada Sandy dan berkata, “Dokter sudah datang. Aku akan pergi sebentar untuk memanggil ibumu. Kau sudah tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja.”

~~~#~~~

“Ibumu sudah tahu aku yang akan mengantarmu pulang,” kata Jung Tae-Woo sambil meletakkan tas Sandy di sofa kamar.
Hari ini Sandy sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Keadaannya sudah membaik walaupun tubuhnya masih agak lemah. Lagi pula setelah seminggu siuman di rumah sakit, Sandy mulai merasa bosan setengah mati.
Ketika tabrakan keras itu terjadi, hal terakhir yang diingatnya adalah Jung Tae-Woo. Bahwa ia belum bertemu laki-laki itu lagi. Belum bicara dengannya. Ia takut tidak akan pernah punya kesempatan melihat Jung Tae-Woo lagi. Lalu semuanya gelap. Ia tidak tahu apa-apa lagi.
Ia nyaris tidak percaya pada apa yang dilihatnya ketika pertama kali membuka mata. Ia melihat wajah Jung Tae-Woo. Seperti sedang bermimpi. Kalau bermimpi, saat itu ia tidak ingin bangun. Tapi ternyata itu kenyataan. Jung Tae-Woo sungguh ada di sana, di sisinya, menggenggam tangannya dan berbicara padanya.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
Sandy tersentak dari lamunan dan melihat Jung Tae-Woo sedang menatapnya dengan alis terangkat. Sandy tersenyum dan menggeleng.
Jung Tae-Woo mendorong kursi roda ke samping tempat tidur. “Ayo, kubantu,” katanya.
Sandy membiarkan Jung Tae-Woo menggendongnya dan mendudukkannya di kursi roda. Walaupun sebagian perbannya sudah dilepas, kakinya masih tidak kuat untuk berjalan atau berdiri, karena itu mereka membutuhkan kursi roda.
“Sebelum pulang ke rumah, aku ingin membawamu ke suatu tempat,” kata Jung Tae-Woo sambil meraih tas Sandy dan mendorong kursi roda Sandy keluar pintu.
“Kita mau ke mana?” tanya Sandy heran.
“Aku ingin mengajakmu makan siang. Untuk merayakan kesembuhanmu.”
“Di mana?”
“Kau akan tahu.”
“Kita naik apa?”
“Tentu saja naik mobil. Eh... kau tidak takut, kan?” tanya Jung Tae-Woo agak ragu.
Sandy menggeleng. “Bukan begitu maksudku. Ini bukan di Korea. Di Indonesia kemudi mobil ada di sebelah kanan. Memangnya kau bisa?”
Jung Tae-Woo tertawa. “Ada orang yang akan mengemudikan mobil. Aku juga sudah memperingatkannya untuk mengemudi dengan hati-hati sekali.”
“Siapa?”
“Kalau kukatakan, kau tidak akan kenal siapa dia.”
Sandy memiringkan kepala dan tidak bertanya-tanya lagi. Bertanya juga tidak ada gunanya kalau Jung Tae-Woo sudah tidak mau mengatakan apa-apa.
Ternyata Sandy memang tidak mengenal pria setengah baya yang mengemudikan mobil itu. Sandy melihat Jung Tae-Woo berbicara padanya dalam bahasa Inggris, lalu pria setengah baya itu mengangguk mengerti. Mereka pun berangkat. 

~~~#~~~

Mereka berhenti di hotel terkenal di daerah Jakarta Selatan.
“Kita mau makan di sini?” tanya Sandy ragu-ragu.
“Ya. Aku sudah memesan tempat. Ayo, kubantu keluar,” kata Jung Tae-Woo.
Sandy cepat-cepat menahannya. “Tunggu sebentar, Jung Tae-Woo ssi. Aku... maksudku, aku tidak masuk ke tempat seperti itu dengan kursi roda. Maksudku—”
Kata-kata Sandy terputus ketika Jung Tae-Woo memegang wajahnya dengan kedua tangan.
“Tidak apa-apa. Ada aku,” katanya sambil tersenyum menenangkan.
Sandy tidak berkata apa-apa lagi. Ia membiarkan dirinya didudukkan di kursi roda dan didorong masuk ke lobi hotel. 

Seorang pegawai hotel sepertinya sudah mengenal Jung Tae-Woo. Ia langsung tersenyum ramah dan langsung menunjukkan jalan menuju restoran.
Sandy merasa agak aneh ketika masuk ke restoran itu dan tidak melihat seorang pun di sana. Hanya ada beberapa pelayan yang berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. Sandy juga memerhatikan ada beberapa pria yang memainkan alat musik di panggung kecil di tengah restoran.
Pegawai hotel yang mengantar mereka menunjukkan meja yang sudah disiapkan untuk mereka, di bagian depan, dekat panggung. Sandy juga melihat ada grandpiano hitam serta pemusik yang duduk di sana dan memainkannya.
Ketika Jung Tae-Woo sudah duduk berhadapan dengannya, Sandy membuka mulut. “Kenapa aku merasa kau sudah mengatur semua ini?”
“Mengatur apa?” Jung Tae-Woo balas bertanya dengan raut wajah tanpa dosa.
Sandy tersenyum. “Tidak ada orang di restoran ini, kecuali pelayan dan beberapa pemain musik. Jangan-jangan penyebabnya adalah kau.”
Jung Tae-Woo hanya tertawa.

Tak lama kemudian makanan mereka diantarkan. Sepertinya sudah lama sekali sejak Sandy makan bersama Jung Tae-Woo. Ia sangat menikmatinya. Ia selalu merasa senang berada di dekat Jung Tae-Woo. Bila ia bersama laki-laki itu, ia merasa lebih tenang, lebih bahagia.
Saat mereka selesai makan, Sandy baru akan mengatakan sesuatu ketika Jung Tae-Woo mengangkat tangan untuk menghentikan ucapannya.
“Aku tahu apa yang kauinginkan,” kata Jung Tae-Woo yakin.
Alis Sandy terangkat.
“Dari tadi kau terus melirik piano di sana itu,” kata Jung Tae-Woo. “Aku sudah tahu kau akan memintaku bermain piano. Benar tidak?”
Sandy kaget dan tertawa. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya.
“Tentu saja,” sahut Jung Tae-Woo. “Karena aku mengenalmu.”
Sandy memerhatikan Jung Tae-Woo saat ia bangkit dari kursi dan berjalan ke arah piano. Pria yang tadinya bermain piano berdiri dan mempersilakan Jung Tae-Woo duduk. Saat itu juga lampu sorot entah di mana menyala menyinari piano itu. Jung Tae-Woo duduk di depan piano dan memosisikan jari-jari tangan di tuts-tutsnya.
Jung Tae-Woo menatap Sandy dan bertanya, “Kau ingin aku memainkan lagu apa?”
“Apa saja,” jawab Sandy cepat.
“Aku sudah menulis sebuah lagu,” kata Jung Tae-Woo sambil menekan beberapa nada di piano. “Sebenarnya lagu ini kutulis untukmu, tapi belum ada liriknya, juga belum ada judulnya. Untuk sementara ini hanya ada nadanya.”
Biarpun begitu, Sandy tetap merasa tersanjung.
Jung Tae-Woo mulai memainkan piano. Sandy sangat suka mendengar Jung Tae-Woo bermain. Setiap nada yang keluar dari piano itu begitu hidup, membentuk melodi indah. Walaupun masih belum ada liriknya, Sandy sangat senang dengan kenyataan bahwa Jung Tae-Woo menulis lagu itu untuknya.
Ketika lagu itu berakhir, Sandy bertepuk tangan bersama para pemusik lain. Sandy mengira Jung Tae-Woo akan kembali ke meja mereka, tapi laki-laki itu malah mengambil mikrofon. Lalu salah seorang pemusik tadi mengambilkan bangku tinggi dan meletakkannya di tengah-tengah panggung. Para pemusik lain bersiap-siap kembali dengan alat musik mereka. Apa yang sedang dilakukan Jung Tae-Woo?
Jung Tae-Woo tersenyum padanya. Laki-laki itu menyalakan mikrofon dan berkata, “Sebenarnya aku ingin menyanyikan laguku sendiri untukmu, tapi tidak ada yang cocok dengan apa yang ingin kukatakan padamu sekarang. Jadi, aku akan menyanyikan lagu lain.” Ia terdiam sejenak dan melanjutkan, “Ada satu lagu yang rasanya cocok.”
Jung Tae-Woo akan menyanyi? Sandy menunggu dengan hati berdebar.
Jung Tae-Woo memberi tanda kepada para pemusik dan musik mulai mengalun. Ia pun mulai bernyanyi.
Sandy menahan napas ketika mengenali lagu itu. Salah satu lagu favoritnya sepanjang masa. Lagu yang dinyanyikan Kang Ta yang berjudul Confession. Dulu, setiap kali mendengarkan lagu ini di CD Kang Ta atau di radio, ia selalu bermimpi suatu saat nanti ada seseorang yang akan menyanyikan lagu ini khusus untuknya. Kini mimpinya menjadi kenyataan. Jung Tae-Woo sedang menyanyikan lagu itu. Khusus untuknya.

Ya... aku ingin hatimu datang padaku
Aku ingin melangkah ke dalam matamu yang sedih
Tidak bisa... kau tidak bisa menerima hatiku semudah itu
Tapi kuharap kau membuka hatimu dan menerimaku
Aku bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah kau tahu yang paling berharga hanya dirimu?
Seluruh cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu      
Aku ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak banyak yang kumiliki
tapi akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Aku bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah kau tahu yang paling berharga adalah dirimu?
Seluruh cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu
Aku ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak banyak yang kumiliki
tapi akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Terima kasih...
Aku akan hidup demi dirimu yang bersedia menerima hatiku
Walaupun cahaya di wajahmu meredup
aku akan tetap mencintaimu...
Aku akan tetap mencintaimu...
Aku akan tetap mencintaimu...
(Terjemahan lagu Confession)

Ketika lagu itu berakhir, Sandy baru menyadari air matanya mengalir tanpa sepengetahuannya.
Jung Tae-Woo turun dari panggung dan menghampirinya. Sandy mendongak menatap Jung Tae-Woo yang tersenyum. Lalu laki-laki itu berlutut di samping kursi rodanya.
“Anak bodoh. Kenapa menangis?” tanya Jung Tae-Woo sambil menghapus air mata di pipi Sandy dengan jarinya.
Sandy tidak tahu harus menjawab apa. Ia diam saja sambil memandangi wajah laki-laki di depannya.  
Jung Tae-Woo menatapnya lurus-lurus. “Aku mencintaimu.”
Sandy tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya saat itu. Yang ia tahu pipinya terasa panas, air matanya kembali mengalir, lalu Jung Tae-Woo mencondongkan tubuh untuk menciumnya.

Friday 4 October 2013

Summer In Seoul (Bab 14 & 15)

Bab Empat Belas

SEJAK hari itu, Sandy mengalami hari-hari biasa. Walaupun juru bicara Jung Tae-Woo sudah meluruskan gosip itu, tentu saja tidak semua pihak menerimanya sebagai kenyataan. Masih saja ada penggemar Jung Tae-Woo yang mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan dan menyebarkannya di internet. Sandy juga tidak bisa berjalan-jalan sendirian di tempat umum lagi. Sekarang banyak orang yang mengenalinya, terlebih lagi remaja-remaja penggemar Jung Tae-Woo. Ada yang bersikap sopan, hanya tersenyum ketika mengenalinya. Tapi ada juga yang kasar, menuduhnya memperalat dan menghancurkan nama baik Jung Tae-Woo, bahkan ada yang menuduhnya memanfaatkan kecelakaan kakaknya sendiri demi mendapatkan Jung Tae-Woo.
Sandy menyadari bahwa yang mengalami masa-masa sulit tidak hanya dirinya sendiri, tapi juga Jung Tae-Woo. Laki-laki itu harus menghadapi mimpi buruknya sekali lagi. Orang-orang kembali membicarakan kecelakaan empat tahun lalu yang melibatkan dirinya dan yang mengakibatkan salah seorang penggemarnya meninggal dunia.
Sejak mereka kembali dari pantai itu, Sandy sama sekali belum berbicara dengan Jung Tae-Woo. Sudah seminggu lebih. Berkali-kali Sandy ingin meneleponnya, tapi kemudian membatalkan niatnya. Ia merasa sebaiknya tidak menghubungi laki-laki itu untuk sementara ini, seperti yang mereka sepakati. Tapi bagaimana ini? Hatinya tidak tenang.

“Miss Han.”
Sandy tersentak dan menoleh. Mister Kim sudah berdiri di sampingnya sambil berkacak pinggang.
“Ya, Mister Kim?” Ia bergegas bangkit dari kursinya.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Miss Han? Aku sudah memanggilmu ratusan kali,” kata Mister Kim. “Wajahmu juga pucat seperti bulan.”
Sandy menunduk. “Aku minta maaf.”
“Karena Jung Tae-Woo?”
Sandy mengangkat wajahnya dengan kaget. “Oh, Mister Kim, itu—“
Mister Kim mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan kata-kata Sandy. “Miss Han, aku tidak percaya pada gosip-gosip yang beredar. Aku percaya padamu. Do you understand that?”
Sandy terdiam.
Mister Kim berjalan kembali ke meja kerjanya dan duduk di kursinya yang besar. “Tapi kau memang menyukainya, kan?”
Pertanyaan Mister Kim yang langsung dan tiba-tiba itu membuat Sandy tidak bisa berkata apa-apa.
“Kau ingin bertemu dengannya?”
Sandy masih diam.
Ternyata Mister Kim mengartikan sikap diamnya sebagai jawaban “ya”. “Kenapa kau tidak menghubunginya?”
Sandy tersenyum dan menggeleng.
Mister Kim menyandarkan kepala ke kursi. “Benar juga,” katanya. “Dia pasti sedang banyak urusan sekarang ini. Kalau semuanya sudah diselesaikan, aku yakin dia pasti akan menghubungimu.”
Sandy hanya mengangguk sedikit, lalu keluar dari studio Mister Kim. Ia berjalan ke ruang penerimaan tamu yang saat itu sedang kosong. Ia duduk di sofa dan memandang ke luar jendela kaca yang besar. Banyak mobil yang berlalu-lalang, tapi Sandy tidak benar-benar memerhatikannya. Ia menatap ponsel yang ada dalam genggamannya.
Kalau suatu saat nanti kau rindu padaku, maukah kau memberitahuku? ... Agar aku bisa langsung berlari menemuimu.
Benarkah? Tidak, ia tidak akan mencobanya.
Tiba-tiba ponsel dalam genggamannya berbunyi. Ia menatap layar ponsel dan jantungnya langsung berdebar dua kali lebih cepat. ~Jung Tae-Woo~
Sandy menempelkan ponselnya ke telinga. “Ya?” Kenapa suaranya terdengar serak?
“Bagaimana kabarmu?”
Mata Sandy terasa panas begitu mendengar suara Jung Tae-Woo.
“Baik-baik saja?” suara Jung Tae-Woo terdengar lagi. Suaranya terdengar ceria, ringan, dan santai.
“Mm,” jawab Sandy sambil mengerjapkan mata untuk menghalau air mata. “Bagaimana denganmu?”
“Ingin bertemu denganmu.”
Sandy tidak berkata apa-apa.
Jung Tae-Woo mendesah panjang. “Bagaimana ini? Sudah lama aku tidak melihatmu, tidak mendengar suaramu, rasanya aneh sekali. Sepertinya semua yang kulakukan tidak ada yang benar. Lalu aku berpikir, mungkin kalau aku meneleponmu dan mendengar suaramu, aku akan merasa lebih baik. Sekarang setelah mendengar suaramu, aku memang merasa lebih baik, tapi timbul masalah lain.” Hening sejenak. “Aku jadi semakin ingin melihatmu.”
Tanpa sadar Sandy tersenyum, namun pandangannya mulai kabur.
“Apa aku boleh berpikir seperti itu?”
Sandy mengerjapkan mata, tapi kali ini air matanya tidak bisa dihentikan.
“Bisa membantuku?” tanya Jung Tae-Woo lagi. “Katakan, Jung Tae-Woo, fighting!‟ sekali saja.”
Sandy tertawa kecil dan menghapus air mata dengan telapak tangannya. “Jung Tae-Woo, fighting!” katanya.
Ia mendengar Jung Tae-Woo mendesah puas. “Baiklah, aku akan mengikuti kata-katamu. Aku akan bertahan. Dan kau sendiri, Sandy, fighting!”
Sandy menutup ponsel dengan perlahan. Ya, bertahanlah, Sandy.


~~~#~~~

“Kau mau ke Jakarta?”
Sandy memandang Kang Young-Mi sambil tertawa kecil. “Kenapa terkejut begitu?”
Mereka berdua sedang mengobrol di kafe langganan ketika Sandy memberitahu Young-Mi ia akan pulang ke Jakarta tiga hari lagi. Ternyata temannya kelihatan lebih terkejut daripada yang disangkanya.
Young-Mi mengempaskan tubuh ke kursi dan mendesah. “Kau sedang melarikan diri?” tuduhnya.
Sandy menggeleng. “Tidak. Melarikan diri dari apa?”
“Dari Jung Tae-Woo,” jawab temannya langsung.
“Astaga, kenapa aku harus melarikan diri dari dia?”
“Lalu kenapa tiba-tiba ingin pulang ke Jakarta?”
Sandy ikut bersandar di kursi. “Hanya ingin berganti suasana. Aku ingin menenangkan diri sebentar. Kau tahu sendiri di sini aku tidak akan bisa tenang. Tidak sebelum masalah itu beres. Lagi pula ibuku sudah marah-marah.”
Young-Mi menatap Sandy dengan kening berkerut. “Kenapa marah?”
“Tentu saja marah kalau kedua anak perempuannya mendadak jadi bahan pembica-raan tidak enak di tabloid-tabloid, di saat yang sama pula,” jelas Sandy.
“Tapi sebenarnya kau tidak menyalahkan Jung Tae-Woo atas kecelakaan kakakmu itu, kan?” tanya Young-Mi hati-hati.
“Tidak,” jawab Sandy. Ia menghela napas dan menegaskan sekali lagi, “Tidak.”
“Lalu kenapa kau tidak menemuinya?”
“Karena kami perlu waktu untuk berpikir. Walaupun aku tidak menyalahkannya, bagaimanapun pasti ada ganjalan di antara kami. Apalagi aku juga harus memikirkan ibuku.”
Mereka berdua terdiam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian Young-Mi bertanya, “Berapa lama kau akan tinggal di Jakarta?”
Sandy mengangkat bahu. “Mungkin cuma satu minggu. Mungkin lebih. Entahlah. Yang pasti, aku akan kembali.”
“Kau sudah memberitahu Jung Tae-Woo soal ini?”
Sandy menggeleng. “Apakah perlu?”
“Kurasa itu pertanyaan bodoh.”
Sandy memiringkan kepala. “Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahunya.”
“Jangan memintaku melakukannya,” kata Young-Mi begitu melihat tatapan Sandy. “Kau harus mengatakannya sendiri.”


~~~#~~~

Tae-Woo memeriksa penampilannya di depan cermin. Lima menit lagi ia harus tampil di depan kamera. Hari ini ia akan tampil dalam acara bincang-bincang yang cukup populer. Tentu saja gosip yang paling hangat tentang dirinya akan dikonfirmasi. Tidak apa-apa. Ia sudah siap. Melalui cermin, ia melihat Park Hyun-Shik menghampiri dari belakang. Manajernya menunjuk jam tangan. Tae-Woo mengangguk mengerti.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Begitu membaca tulisan yang muncul di layar ponsel, ia tersenyum. Sudah seminggu terakhir ini ia tidak menghubungi gadis itu. Kenapa Sandy tiba-tiba meneleponnya?
“Halo?” katanya begitu ponselnya ditempelkan di telinga.
“Ini aku.” Terdengar suara Sandy di ujung sana.
Tae-Woo tersenyum. “Aku tahu.”
Sandy hanya bergumam tidak jelas, lalu bertanya, “Sedang apa?”
“Sebentar lagi on air,” sahut Tae-Woo sambil melihat ke sekeliling. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Hanya ingin mendengar suaramu.”
“Begitu?” kata Tae-Woo senang. “Di mana kau sekarang?”
“Di bandara.”
Tae-Woo mengerutkan kening. Sepertinya ia salah dengar. “Di mana?”
“Di bandara.”
Ia tidak salah dengar. “Kenapa ada di bandara? Menjemput seseorang?”
“Aku akan pergi ke Jakarta. Aku meneleponmu untuk mengatakan itu.”
Tunggu... Jakarta? Jakarta, Indonesia?
Sepertinya Tae-Woo tanpa sadar telah menyuarakan pikirannya, karena Sandy menjawab, “Ya, aku akan pergi ke Indonesia. Sudah cukup lama aku ingin bertemu orangtuaku.”
“Berapa lama kau akan di sana?” tanya Tae-Woo. Tangannya mendadak terasa lemas.
“Sekitar seminggu,” jawab Sandy cepat. “Hanya untuk liburan.”
“Begitu.”
“Oh, aku harus masuk sekarang. Jaga dirimu.”
Tae-Woo masih dalam keadaan setengah sadar. “Mm... Kau juga,” gumamnya.
Walaupun Sandy sudah memutuskan hubungan, Tae-Woo masih memegangi ponsel di telinganya.
Gadis itu akan pergi. Tae-Woo mendadak merasa tidak bertenaga. Walaupun ia bisa memahami kenapa Sandy ingin pergi ke Jakarta, kenapa Sandy merasa perlu menjauhkan diri dari Korea untuk sementara, tetap saja ia tidak ingin gadis itu pergi. Walaupun sangat ingin pergi ke bandara sekarang, ia tahu sudah tidak ada gunanya. Sandy pasti sudah masuk ke pesawat. Itulah sebabnya kenapa gadis itu tidak memberitahunya lebih awal. Sandy tahu Tae-Woo pasti akan mencegahnya kalau memang bisa. Memikirkan gadis itu akan pergi membuat Tae-Woo cemas. Bagaimana kalau Sandy tidak kembali? Tidak bertemu Sandy beberapa waktu ini saja sudah membuat Tae-Woo agak panik, seperti orang yang kehilangan arah, apalagi sekarang.
“Tae-Woo, ayo, sudah saatnya.”
Tae-Woo menoleh ke manajernya. Ia mengangkat sebelah tangan untuk memberi tanda. Lalu ia mematut dirinya sekali lagi di cermin. Jung Tae-Woo,fighting!


Thursday 3 October 2013

Summer In Seoul (Bab 12 & 13)

Bab Dua Belas

KAU sedang membaca atau tidak?”
Sandy tersadar dari lamunan dan mengangkat wajah. Kang Young-Mi yang duduk di hadapannya sedang memerhatikannya dengan alis terangkat.
“Mm?”
Young-Mi menutup buku yang dibacanya dan melipat tangan di meja. “Kita masuk ke perpustakaan ini satu jam lalu. Tapi selama setengah jam terakhir kau hanya memelototi halaman yang itu-itu terus. Kau memegang bolpoin, tapi tidak menulis. Kau melihat buku, tapi tidak membaca. Han Soon-Hee, apa yang sedang kaupikirkan?”
Sandy tertawa kecil dan membalikkan halaman bukunya. “Tidak ada. Hanya sempat bosan dan melamun sebentar.”
Young-Mi mengetuk-ngetukkan jari di meja. “Jung Tae-Woo tidak menghubungi-mu?”
“Mm,” gumam Sandy tanpa memandang temannya. “Sudah hampir satu bulan aku tidak berhubungan dengannya. Lagi pula untuk apa? Masalah di antara kami sudah selesai. Aku sudah membantunya seperti yang dia minta. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan.”
“Untunglah wartawan berhenti mengejar-ngejarmu,” kata Young-Mi. “Akhirnya, meski sudah tahu namamu, mereka belum pernah mendapatkan foto-fotomu yang jelas. Kau tidak mungkin hidup setenang ini kalau wajah aslimu terpampang di media cetak.”
Saat itu ponsel Sandy yang tergeletak di meja bergetar pelan. Ia meraihnya dan membaca tulisan yang muncul di layar. ~Lee Jeong-Su~
“Halo?”
“Soon-Hee, punya waktu sekarang?” suara laki-laki itu terdengar lesu.
Sandy ragu sejenak. “Ada apa?”
“Keluarlah sebentar. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
Sandy menutup ponsel dan memandang Young-Mi.
“Kenapa? Lee Jeong-Su mau bertemu lagi?” tebak Young-Mi.
Sandy tersenyum samar dan membereskan buku-bukunya. “Aku pergi dulu ya?”


~~~#~~~

Langit sudah nyaris gelap ketika Sandy tiba di depan kafe yang disebutkan Jeong-Su. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat laki-laki itu sudah menunggunya di dalam. Lee Jeong-Su sedang duduk bersandar di sana dengan segelas air putih di meja. Sesekali ia melirik jam tangan dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
Sandy masih ingat betapa dulu ia sangat memercayai laki-laki itu. Betapa dulu ia sangat menyukainya.
Sandy membuka pintu kafe dan terdengar bunyi dentingan halus. Pelayan menghampirinya dan Sandy segera berkata padanya bahwa temannya sudah menunggu. Dengan langkah ringan, Sandy menghampiri Lee Jeong-Su. Laki-laki itu duduk membelakangi pintu, sehingga tidak menyadari kehadiran Sandy.
“Sudah menunggu lama?” tanya Sandy sambil menarik kursi di hadapan Jeong-Su lalu duduk.
Jeong-Su tersentak dan senyumnya mengembang. “Oh, tidak. Aku juga baru datang.”
“Jus jeruk,” kata Sandy kepada pelayan yang menanyakan pesanannya.
Setelah pelayan itu pergi, Sandy memandang Lee Jeong-Su. “Ada apa memanggilku ke sini?”
“Bagaimana kabarmu?”
Sandy tersenyum. “Baik-baik saja. Seperti yang kaulihat. Kau sendiri?”
Lee Jeong-Su meneguk airnya, lalu terdiam sejenak. Akhirnya ia berkata, “Aku sudah berpisah dengannya.”
“Oh? Memangnya kenapa?”
Jeong-Su menatap mata Sandy dan menjawab dengan nada yakin, “Karena kukatakan padanya aku masih belum bisa melupakanmu.”
Alis Sandy terangkat karena terkejut. “Apa?”
“Itu benar,” kata Jeong-Su menegaskan.
Saat itu pelayan mengantarkan jus jeruk yang dipesan Sandy. Sandy mengucapkan terima kasih dengan kikuk, lalu kembali memandang Lee Jeong-Su. Laki-laki itu begitu tampan, dan selama mereka bersama ia selalu bersikap baik kepada Sandy. Tentunya sampai laki-laki itu meninggalkannya. Namun dari dulu, salah satu kelemahan Lee Jeong-Su adalah tidak bisa memantapkan keputusan. Ia tidak bisa bertahan lama pada satu pendirian.
“Soon-Hee, bisakah kau memberiku kesempatan sekali lagi?” tanyanya. Raut wajahnya begitu bersungguh-sungguh. Sandy bisa merasakan laki-laki itu memang serius.
Perlahan Sandy mengaduk jus jeruknya. “Aku akan jujur padamu. Ketika kita berpisah dulu, selama beberapa waktu perasaanku kacau sekali. Aku tidak mengerti kenapa kau meninggalkanku. Aku selalu berpikir, apa yang sudah kulakukan... apa yang belum kulakukan... sampai kau bisa membuat keputusan seperti itu.”
Lee Jeong-Su bergerak-gerak gelisah di kursinya.
“Selama beberapa waktu, aku sering memikirkanmu dan segala hal yang berhubungan denganmu,” Sandy melanjutkan. “Tapi kemudian segalanya berubah. Perlahan-lahan, entah sejak kapan dan entah bagaimana, ada sesuatu yang lain yang menggantikan dirimu dalam pikiranku.”
Lee Jeong-Su menatap gelasnya. “Maksudmu?”
Sandy tidak menjawab. Ia hanya meminum jus jeruknya dengan pelan.
Lee Jeong-Su mengangkat wajahnya dan menatap Sandy. “Kau sungguh-sungguh tidak bisa—setidaknya mau mencoba—kembali padaku?”
Sandy menarik napas, lalu berkata, “Aku bisa melupakan semuanya, tapi aku tidak akan kembali pada orang yang sudah meninggalkanku.”
Lee Jeong-Su tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Sandy dengan pandangan menerawang.


~~~#~~~

“Sudah lihat?”
Tae-Woo tidak menjawab. Ia terus memandangi tabloid yang tadi disodorkan manajernya. Ada artikel yang menyebutkan hubungan Jung Tae-Woo dan kekasihnya mulai retak karena kekasihnya itu menemui pria lain. Pria lain? Apakah mantan pacar Sandy?
“Kau sudah menghubungi Sandy?”
Tae-Woo mendengar pertanyaan itu, tapi tidak menjawab. Ia tidak bisa menjawab. Ia sedang berpikir.
“Tae-Woo.”
Sepertinya Park Hyun-Shik mulai kehilangan kesabaran. Tae-Woo mengangkat wajah dan meletakkan tabloid itu di meja kerja manajernya.
“Belum, aku belum menghubunginya,” jawabnya tenang.
“Kenapa kau bisa setenang itu? Kau sudah punya rencana?” desak Park Hyun-Shik.
Tae-Woo menggeleng dan tersenyum. “Tidak juga. Hyong mau aku melakukan apa? Bukankah sudah pernah kukatakan bantuan Sandy kepada kita sudah selesai. Dia bukan kekasih Jung Tae-Woo lagi, baik di dalam maupun di luar foto.”
Park Hyun-Shik jelas terlihat bingung mendengarnya. “Jadi maksudmu, kau akan membiarkan masalah ini? Bagaimana kau akan menghadapi wartawan kalau mereka bertanya?”
“Aku bisa menghadapinya. Hyong tenang saja.”
“Aku heran, sudah satu bulan terakhir ini kau tidak menghubungi Sandy,” kata Park Hyun-Shik setelah terdiam beberapa saat. “Kau benar-benar tidak mau bertemu dengannya lagi?”
Tae-Woo hanya tersenyum.
Park Hyun-Shik mengerutkan kening. “Biasanya aku tidak pernah salah tentang hal-hal seperti ini.”
“Hal-hal seperti apa?”
“Kukira kau menyukainya. Apakah aku salah?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Aku sudah ditolaknya.”
“Ah, begitu? Lalu kau menyerah begitu saja?”
“Tidak.”
“Aku tidak mengerti. Sekarang kau sama sekali tidak menghubunginya. Apa maksudmu dengan tidak menyerah?”
Senyum Tae-Woo bertambah lebar. Ia mengedipkan mata ke arah manajernya, tapi tidak berkata apa-apa.


~~~#~~~

“Soon-Hee! Soon-Hee!”
Sandy sedang duduk melamun di bangku panjang di taman kampus ketika ia mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan melihat Kang Young-Mi berlari ke arahnya. Benar-benar berlari. Ia tak pernah melihat temannya itu berlari sebelumnya.
“Astaga, capek sekali,” kata Young-Mi dengan napas terengah-engah begitu ia tiba di samping Sandy.
“Sini, duduk dulu,” kata Sandy sambil bergeser memberi tempat untuk temannya.
Tanpa berkata apa-apa, Young-Mi menyodorkan tabloid yang sedang dipegangnya kepada Sandy. Perhatian Sandy langsung tertuju pada artikel yang terpampang di hadapannya.
“Apa ini?” tanyanya dengan kening berkerut.
Young-Mi masih sibuk mengatur napas sehingga tidak bisa menjawab.
Sandy membaca artikel itu tanpa bersuara. Setelah selesai, ia melipat kembali tabloid tersebut dan menarik napas.
“Bagaimana?” tanya Young-Mi.
Sandy mengangkat bahu. “Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa menulis berita seperti ini.”
Young-Mi mengibaskan tangan dengan tidak sabar. “Bukan itu. Maksudku, apakah menurutmu Jung Tae-woo yang mengatakan pada wartawan? Bukankah kau memang tidak membantunya lagi? Jadi bagaimanapun Jung Tae-Woo memang harus putus dengan 
pacarnya.
Sandy tertegun, lalu memiringkan kepala. “Entahlah,” katanya.
“Kau tidak mau bertanya kepadanya?”
Sandy berpaling ke arah temannya dengan kaget. “Tanya apa?”
Young-Mi mendengus jengkel. “Astaga, kau...”
Bagaimana ia bisa bertanya pada Jung Tae-Woo? Sudah satu bulan mereka tidak bertemu dan berbicara. Lagi pula, Jung Tae-Woo memang tidak mungkin mempertahankan cerita tentang kekasihnya, sementara orang yang membantunya menjadi pacar” sudah tidak mau membantu lagi.

Young-Mi menatap temannya yang duduk di sampingnya dengan kesal. Ia tidak bisa percaya Sandy tidak mau melakukan apa-apa tentang artikel yang ditunjukkannya itu. Menurutnya, setidaknya Sandy bisa menelepon Jung Tae-Woo dan bertanya atau menjelaskan situasi yang sebenarnya. Atau apa pun. Tapi anak bodoh itu hanya duduk melamun. Walaupun orang-orang masih tidak mengenali Han Soon-Hee yang sedang duduk melamun seperti orang bodoh ini sebagai Han Soon-Hee pacarnya Jung Tae-Woo, Young-Mi merasa temannya ini harus tetap menjaga nama baiknya. Kenapa anak itu tidak keberatan disebut-sebut sebagai tukang selingkuh?
Young-Mi mengibaskan rambut ke belakang dengan perasaan jengkel. Bisa jadi malah Jung Tae-Woo yang mengatakan semua cerita itu pada wartawan untuk menyelamatkan reputasinya sendiri. Ya, itu mungkin saja.
“Hei, Soon-Hee. Bagaimana kalau Jung Tae-Woo yang melakukan semua itu?” desaknya sekali lagi.
Alis Soon-Hee terangkat. “Menurutmu begitu?”
Young-Mi mengangkat bahu. “Mungkin saja, bukan? Makanya, kenapa kau tidak bertanya langsung kepadanya?”
Sebelum Sandy sempat menjawab, ponselnya berbunyi. Young-Mi melihat temannya buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan membukanya.
Jung Tae-Woo?
“Halo?” Raut wajah Soon-Hee berubah sedikit.
Bukan Jung Tae-Woo.
“Ya, Mister Kim... Ya? Sekarang? ... Ya, saya mengerti.”
Sandy menutup ponselnya dan tersenyum kepada Young-Mi. “Young-Mi, aku harus pergi sekarang, Mister Kim memintaku menemuinya.”
“Bosmu memang drakula penghisap darah,” celetuk Young-Mi. “Kau selalu bilang mau berhenti, tapi tidak pernah sekali pun mulai menulis surat pengunduran diri.”
“Setidaknya jadwal kuliahku tidak pernah terganggu gara-gara dia,” Soon-Hee membela atasannya. “Aku pergi dulu, ya?”
Young-Mi memandangi temannya yang berjalan pergi, lalu memandang tabloid yang sedang dipegangnya.
Sebaiknya masalah ini cepat diluruskan, sebelum para penggemar Jung Tae-Woo mengamuk. Han Soon-Hee tidak tahu bagaimana liarnya para penggemar Jung Tae-Woo kalau sudah dipancing. Mereka tidak akan rela idola mereka dicampakkan seorang wanita.
Semoga saja masalah in cepat selesai.


~~~#~~~

“Miss Han, terima kasih karena sudah datang. Oh, terima kasih,” Mister Kim menyambut Sandy dengan penuh semangat di dalam studionya yang seperti biasa; berantakan. Hari ini rambut Mister Kim dicat kuning dan tubuhnya dibungkus jaket kulit panjang yang kelihatannya sangat tebal. Sandy bertanya-tanya apakah Mister Kim tidak merasa gerah.
Mister Kim menggerak-gerakkan jari tangannya ke arah beberapa pakaian yang dibungkus plastik bening yang tergeletak di meja bundar di sudut ruangan. “Tolong antarkan kepada Jung Tae-Woo, ya?”
Sandy mengerjap-ngerjapkan matanya. Siapa?
“Seperti yang kau lihat, Miss Han, aku sedang sibuk sekali dan tidak ada yang bisa membantuku...”
Harus diantarkan kepada siapa?
“... Antarkan saja ke rumahnya. Kau sudah punya alamat rumahnya, bukan? ...”
Ke rumahnya? Rumah Jung Tae-Woo?
“... Jangan bilang kau sudah menghilangkan alamat itu, Miss Han. Aku sendiri tidak tahu lagi di mana kusimpan alamatnya...”
Apa yang harus kukatakan kalau kami bertemu?
“... Katakan saja model pakaian itu bisa menjadikannya trendsetter di kalangan anak muda...”
Apakah Mister Kim membaca pikiranku?
“... Nah, ide-ideku sedang berontak ingin keluar dari otak. Aku sedang merasa kreatif sekali...”
Tidak, dia tidak membaca pikiranku.
“... Jadi pergilan sekarang juga, Miss Han, dan biarkan aku sendiri dengan ide-ideku.”
“Menemui Jung Tae-Woo?” tanya Sandy agak bingung karena terlalu banyak hal yang berlalu-lalang di benaknya.
“Bukan, ayahnya,” celetuk Mister Kim dari balik meja kerjanya, lalu melanjutkan tanpa menunggu tanggapan, “tentu saja Jung Tae-Woo. Bukankah pakaian itu untuk dia? Ayo, Miss Han, gerakkan kakimu.”
“Oh, ya.” Sandy cepat-cepat menghampiri meja bundar dan mengangkat pakaian-pakaian yang ditunjukkan atasannya tadi.
Ketika ia memegang kenop pintu untuk membukanya, Mister Kim memanggil. Sandy berbalik menunggu perintah selanjutnya.
Mister Kim sedang memegang tabloid, tabloid yang sama dengan yang ditunjukkan Young-Mi tadi.
“Asal kau tahu saja, Miss Han. Aku tidak percaya sedikit pun berita ini,” kata Mister Kim tiba-tiba sambil menunjuk artikel yang membahas Sandy itu. “Jadi cepat selesaikan.”
Sandy kaget. Apakah Mister Kim tahu tentang dirinya dan Jung Tae-Woo? Tidak mungkin.
Karena tidak tahu harus bersikap bagaimana, Sandy hanya memaksakan seulas senyum, lalu cepat-cepat keluar dari ruangan itu.


~~~#~~~

Sandy sendiri tidak mengerti kenapa ia enggan bertemu Jung Tae-Woo. Mungkin karena kata-kata Jung Tae-Woo ketika mereka bertemu terakhir kali itu. Mungkin juga karena sudah lama tidak saling berbicara, jadi kalau harus mulai bicara lagi, sepertinya agak aneh. Apa yang harus dikatakannya?
Sandy mendesah pelan sambil berjalan menyusuri jalan menuju rumah Jung Tae-Woo.
“Mm? Mobil itu... seperti mobil Jung Tae-Woo,” Sandy bergumam sendiri ketika melihat mobil merah yang diparkir di jalan itu, tidak terlalu jauh di depannya. Ia menyipitkan mata memerhatikan mobil tersebut.
Seiring setiap langkah, semakin jelas terlihat ada tiga orang yang berdiri di dekat mobil itu. Seorang laki-laki dan dua wanita. Laki-laki itu mengenakan topi dan kacamata hitam. Dari jauh saja Sandy sudah bisa mengenali pria itu Jung Tae-Woo. Sandy melihatnya sedang berbicara dengan dua wanita, bukan... lebih tepatnya dua gadis yang sepertinya siswi sekolah menengah. Kedua gadis itu berbicara penuh semangat sementara Jung Tae-Woo mendengarkan sambil sesekali tersenyum.
“Bagaimana, Oppa?”
Sandy mendengar salah satu gadis itu bertanya penuh harap.
Jung Tae-Woo tersenyum dan baru akan menjawab ketika matanya menangkap sosok Sandy. “Oh.”
Sandy menghentikan langkahnya tidak jauh dari tiga orang itu. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Menyapa Jung Tae-Woo? Ya, tentu. Setidaknya itu pasti harus dilakukan terlebih dulu.
Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Jung Tae-Woo sudah buru-buru menghampirinya dengan wajah cerah.
“Sudah datang?” tanya Jung Tae-Woo begitu berdiri di sampingnya.
Sandy mengerjapkan mata dan menatap Jung Tae-Woo lalu beralih memandang kedua gadis tadi. Mereka masih mengenakan seragam sekolah. Sepertinya baru pulang sekolah. Kedua-duanya berambut panjang dan bertubuh tinggi kurus. Mereka juga sedang memerhatikan Sandy dengan perasaan ingin tahu.
“Mereka Lee Mi-Ra dan Chon Jin-Ae,” kata Jung Tae-Woo memperkenalkan kedua gadis tadi. Bagi Sandy nama-nama itu tidak berarti apa-apa. Ia yakin sebentar lagi ia pasti lupa, tapi ia mengangguk.
Kedua gadis itu tersenyum kepadanya. Menurut Sandy senyum mereka agak menakutkan.
“Apa kabar, Onni?” sapa mereka berdua bersamaan.
“Kami penggemar Tae-Woo Oppa,” kata salah seorang gadis itu, rambutnya agak pirang. Sandy sudah lupa siapa namanya.
Oh... ternyata penggemar.
Onni ini pacarnya Tae-Woo Oppa, ya?” tanya yang satunya lagi yang berambut agak keriting.
Bagaimana menjawabnya? Sandy memandang Jung Tae-Woo yang diam saja, lalu kembali memandang dua gadis di depannya itu.
“Kenapa?” tanyanya pada akhirnya.
Si keriting memandangi Sandy dari kepala sampai ke ujung kaki, lalu berkata pelan, “Onni berbeda sekali dengan yang di dalam foto.”

Sandy baru menyadari bahwa selama ini, walau semua orang tahu Han Soon-Hee adalah pacar Jung Tae-Woo, mereka tidak pernah melihat wajah Han Soon-Hee yang sesungguhnya dengan jelas.
“Kami membaca di tabloid kalian berdua sudah berpisah karena Onni suka pada pria lain,” sela si pirang dengan cepat.
Alis Sandy terangkat.
“Makanya kalian jangan langsung percaya pada apa yang kalian baca di tabloid,” Jung Tae-Woo menyela. “Kalian lihat sendiri, kami masih baik-baik saja.”
Kedua gadis itu berpandangan, lalu mereka memandangi Sandy. Kini mata mereka beralih ke Jung Tae-Woo.
Jung Tae-Woo menampilkan senyumnya yang paling menawan dan berkata, “Baiklah, sekarang kalian pulang saja ya, sebelum orangtua kalian cemas. Hati-hati di jalan.”
Sandy agak kaget ketika Jung Tae-Woo meraih pakaian-pakaian yang sedang dijinjingnya.
“Sini, biar kumasukkan bawaanmu ke mobil,” kata Jung Tae-Woo.
Sandy membiarkan Jung Tae-Woo menuntunnya ke mobil. Jung Tae-Woo membuka pintu mobil untuk Sandy, lalu langsung berjalan memutar ke sisi pengemudi.
Sebelum masuk ke mobil, Jung Tae-Woo sempat melambai kepada kedua penggemarnya itu sambil berkata, “Sampai ketemu. Jangan keluyuran lagi. Langsung pulang ke rumah, mengerti?”
“Ya,” jawab kedua gadis itu serentak.
Sandy juga ikut tersenyum kepada mereka, lalu masuk ke mobil. Memangnya apa lagi yang bisa dilakukannya?
Ketika mobil sudah mulai melaju, Jung Tae-Woo mengembuskan napas lega. “Untunglah kau datang,” katanya sambil menoleh ke arah Sandy. “Aku sudah kehabisan akal tadi. Mereka memaksa mau ke rumahku. Masa tadi mereka sampai mencegatku di tengah jalan.”
Sikap Jung Tae-Woo kelihatan biasa-biasa saja. Ia berbicara seakan-akan waktu hampir sebulan tanpa berhubungan tidak pernah ada di antara mereka. Ternyata kekhawatiran yang menguasai Sandy sejak tadi tidak beralasan. Jung Tae-Woo masih seperti dulu.
Sandy memerhatikan Jung Tae-Woo yang memegang kemudi dan menatap lurus ke jalan. Jung Tae-Woo sudah melepaskan kacamata hitamnya, tapi ia masih memakai topi. Sandy bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya Jung Tae-Woo baru pulang dari mana. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai ke siku dan celana jins yang agak longgar. Apakah baru dari acara pemotretan? Pandangan Sandy kembali beralih ke wajah Jung Tae-Woo. Sepertinya sudah lama sekali ia tidak melihat laki-laki itu. Sekarang Jung Tae-Woo ada di sampingnya. Ia bisa melihatnya, bisa mendengar suaranya. Entah kenapa, mendadak Sandy merasa lega. Saking leganya sampai dadanya terasa sesak dan matanya terasa panas.
“Kenapa diam saja?” tanya Jung Tae-Woo tiba-tiba.
Sandy tersentak dan menyadari Jung Tae-Woo sedang menatapnya heran.
“Tidak apa-apa,” sahutnya sambil berpaling, memandang lurus ke depan. “Kenapa kau tidak mengundang mereka ke rumahmu saja? Biar mereka puas. Bukankah kau sangat memerhatikan penggemarmu?”
“Yang benar saja. Kalau mereka kuizinkan masuk, bagaimana kalau lain kali mereka datang berbondong-bondong dan semua mau masuk?” kata Jung Tae-Woo sambil tertawa.
Sandy ikut tersenyum, tapi kemudian ia teringat sesuatu. Pikiran ini membuatnya mengerutkan kening. “Tadi sepertinya salah satu gadis itu memegang ponsel, tepat sebelum aku masuk ke mobil. Gadis yang pirang.”
“Lalu kenapa? Apa yang aneh?” tanya Jung Tae-Woo tidak mengerti.
Sandy memiringkan kepala. “Tidak ada. Mungkin... mungkin hanya perasaanku.”

Beberapa saat kemudian Jung Tae-Woo menghentikan mobil di depan rumahnya.
Sandy mencondongkan tubuh ke depan dan memandangi rumah itu lewat kaca depan mobil. Sudah lama ia tidak melihat rumah ini dan tiba-tiba ia merasa rindu. Aneh sekali.
“Ayo, turunlah,” kata Jung Tae-Woo sambil melepaskan sabuk pengaman.
“Mm?”
Jung Tae-Woo memandangnya. “Bukankah kau ke sini untuk menemuiku?”
Sandy tersadar. “Oh, ya. Benar.” Ia segera membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.
Jung Tae-Woo sudah mengeluarkan pakaian-pakaian dari kursi belakang mobil.
Sandy mengikuti Jung Tae-Woo masuk ke rumah. Rumah itu sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Tentu saja, pikirnya dalam hati. Memangnya sudah berapa tahun aku tidak melihat rumah ini?
“Ayo, masuk,” kata Jung Tae-Woo sambil meletakkan pakaian-pakaian dari Mister Kim di meja ruang duduk. “Kenapa malu-malu begitu? Kau kan juga sudah pernah tinggal di sini.”
Sandy mendengus, membuka sepatu, dan memakai sandal rumah yang sudah tersedia. Kemudian ia menghampiri laki-laki itu.
“Nah, kenapa kau datang ke sini?” tanya Jung Tae-Woo. Ia berjalan ke dapur. “Mau minum apa?”
“Itu.” Sandy menunjuk pakaian-pakaian di meja ruang duduk. “Mister Kim memintaku membawakannya untukmu.”
Jung Tae-Woo hanya memandang tumpukan pakaian itu sekilas lalu membuka lemari es. “Oh, kenapa repot-repot? Bukankah sudah kukatakan padanya aku akan ke butiknya besok.”
Oh ya? Lalu kenapa Mister Kim menyuruhnya ke sini? Sandy heran.
Sebenarnya sejak pertama kali disuruh membawakan pakaian untuk Jung Tae-Woo, ia sudah heran. Kenapa Mister Kim menyuruhnya membawakan pakaian untuk Jung Tae-Woo? Biasanya tugas Sandy bukan itu. Tugas Sandy sebelumnya adalah semacam asisten pribadi Mister Kim, bukan kurir.
“Mau minum apa?”
“Tidak usah.”
“Ya sudah, minum jus saja. Ini.”
Sandy menerima sebotol jus apel yang disodorkan Jung Tae-Woo.
“Jadi hanya itu?” tanya Jung Tae-Woo lagi.
“Mm?”
“Kau kemari hanya untuk itu?”
“Oh,” gumam Sandy, lalu bertanya, “apa kabarmu? Baik-baik saja?”
Jung Tae-Woo meneguk air dan mengangguk. “Baik-baik saja.”
“Sibuk sekali?” tanya Sandy hati-hati.
Jung Tae-Woo berpikir sebentar. “Tidak juga,” jawabnya.
Sandy menarik napas dan mengangguk-angguk. Tidak sibuk. Tidak sibuk katanya.
“Kenapa?” Jung Tae-Woo menundukkan kepala sedikit untuk melihat wajah Sandy.
“Mm?” Lalu sebagai jawaban, Sandy hanya tersenyum dan menggeleng.
Jung Tae-Woo tersenyum. “Rindu padaku?”
Mata Sandy membesar. Apa katanya?
Senyum Jung Tae-Woo melebar. “Rindu padaku, kan? Aku benar, kan?”
Sandy mendengus pelan dan tertawa kecil. “Tidak.”
Jung Tae-Woo memasang wajah kecewa. “Tidak?”
“Tidak,” kata Sandy sekali lagi.
“Wah, berarti usahaku sia-sia,” kata Jung Tae-Woo sambil berjalan ke arah piano putihnya.
“Usaha apa?” tanya Sandy.
Jung Tae-Woo duduk menghadap pianonya. “Tidak apa-apa. Lupakan saja.”
Sandy menghampirinya. “Sudah lama tidak mendengarmu main piano,” kata Sandy sambil berdiri bertopang dagu di piano Jung Tae-Woo. “Mainkan satu lagu.”
Jung Tae-Woo berpikir-pikir sejenak. “Aku akan main dengan satu syarat.”
Sandy mengangkat dagu, menantangnya. “Syarat apa?”
“Kalau suatu saat nanti kau rindu padaku, kau mau memberitahuku?” tanya Jung Tae-Woo.
Sandy mengerutkan kening karena merasa lucu. “Syarat apa itu?”
“Setuju atau tidak?” tanya Jung Tae-Woo sambil memosisikan sepuluh jarinya di atas tuts-tuts piano. Ia menatap Sandy lurus-lurus, menunggu jawaban.
“Kenapa aku harus memberitahumu?” tanya Sandy lagi.
“Supaya aku bisa langsung berlari menemuimu,” jawab Jung Tae-Woo ringan.
Sandy tertegun. Ia merasa jantungnya berdebar dua kali lebih cepat. Apakah laki-laki itu sungguh-sungguh? Apa maksudnya?
Akhirnya Sandy berdeham dan berkata, “Baiklah, aku akan memberitahumu kalau suatu saat nanti aku rindu padamu. Tapi kau tidak perlu berlari menemuiku, nanti kau capek.”
Jung Tae-Woo tertawa. Tiba-tiba ia berseru pelan, “Ah, ada satu hal lagi sebelum aku main!”
“Apa?”
Ia menatap Sandy. “Artikel itu,” katanya ragu-ragu. “Artikel perselingkuhanmu itu... bukan aku yang mengatakannya.”
“Oh...”
“Aku hanya ingin kau tahu,” kata Jung Tae-Woo lagi. “Jad kau tidak usah mencemaskan masalah itu lagi. Serahkan saja padaku.”
Dalam hati, Sandy sudah tahu bukan Jung Tae-woo yang menyebarkan gosip tersebut. Maka tanpa ragu ia pun langsung mengangguk.
“Tapi, apakah kau memang... maksudku, apakah sekarang kau memang dekat dengan seseorang?”
“Kau sendiri yang bilang gosip-gosip seperti itu tidak bisa dipercaya. Kenapa bertanya seperti itu?” tanya Sandy kesal.
“Aku memang tidak percaya. Makanya aku bertanya langsung padamu,” kata Jung Tae-Woo membela diri. Aku ingin tahu jawabannya darimu.”
Sandy meringis. “Tidak, semua yang ditulis di artikel itu tidak benar.”
Jung Tae-Woo mengangguk. “Oke, aku percaya padamu. Ah, satu hal lagi.”
Sandy menghela napas. “Apa lagi? Kau sebenarnya mau main atau tidak?”
“Kalau suatu saat nanti aku rindu padamu, bolehkah kukatakan padamu?”
Pertanyaan itu membuat hati Sandy berdebar-debar lagi.
“Boleh...,” sahut Sandy, berusaha agar suaranya tidak terdengar gugup. “Terserah kau saja.”
“Aku rindu padamu.”
Kali ini Sandy merasa jantungnya berhenti berdegup. Ia hanya bisa menatap laki-laki yang sedang tersenyum itu. Ia tidak bisa mengucapkan apa pun, tidak bisa memikirkan apa pun.

“Baiklah,” kata Jung Tae-Woo akhirnya. “Sekarang lagu apa yang harus kumainkan?”



Wednesday 2 October 2013

Summer In Seoul (Bab 10 & 11)

Bab Sepuluh

ENTAH sudah yang keberapa kalinya Park Hyun-Shik melihat Tae-Woo sedang menelepon. Jadwal kerja Tae-Woo hari ini cukup padat, tapi ia selalu telrihat menelepon setiap kali ada waktu luang. Tanpa perlu bertanya, Park Hyun-Shik tahu siapa yang sedang dihubunginya.
“Tae-Woo, kau mau terus menelepon sampai kapan? Kau harus tampil sebentar lagi,” tegur Park Hyun-Shik sambil menepuk punggung temannya.
Tae-Woo yang sedang duduk di kursi putar dengan kaki terjulur tersentak dan menutup ponselnya. “Oh, Hyong.”
“Ada apa? Kenapa wajahmu kusut begitu?”
“Tidak ada di rumah.” Tae-Woo seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Park Hyun-Shik pura-pura tidak tahu siapa yang dimaksud Tae-Woo. “Siapa?”
Tae-Woo mendesah. “Sudah. Lupakan, tidak ada apa-apa.”
“Sebaiknya kau bersiap-siap,” ia mengingatkan Tae-Woo sekali lagi.
Kali ini Tae-Woo menoleh ke arahnya dan bertanya, “Hyong, setelah ini aku tidak punya jadwal kerja lagi, kan?”


~~~#~~~

Sandy baru saja masuk ke rumah ketika ia mendengar telepon rumah berdering. Ia menutup pintu dan meletakkan kunci di meja. Harus diangkat atau tidak? Bagaimanapun ini rumah Jung Tae-Woo dan ia tidak bisa sembarangan menjawab teleponnya. Akhirnya ia membiarkan mesin penjawab telepon yang menerima.
“Kalau kau ada di rumah, angkat teleponnya.”
Sandy kaget mendengar suara Jung Tae-Woo di mesin. Ia cepat-cepat mengangkat telepon. “Halo?”
“Akhirnya kau menjawab juga. Aku sudah mencoba menghubungimu sejak tadi.” Suara Jung Tae-Woo terdengar agak jengkel.
Sandy melirik jam tangannya. “Oh, aku tidak sadar sudah sore. Ada apa mencariku? Ada yang harus kulakukan?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa?”
“Hanya ingin tahu keadaanmu.”
Sandy tersenyum sendiri. “Aku baik-baik saja. Sekarang kau di mana?”
“Di jalan. Aku akan pulang sebentar lagi.”
“Mmm, kau mau kubuatkan makan malam?” tanya Sandy sambil menimbang-nimbang. “Aku memang tidak bisa memasak, tapi aku bisa membuat bibimbab* atau…”
Ia mendengar Jung Tae-Woo tertawa di ujung sana. “Aku belum seberani itu untuk mencoba masakan orang yang mengaku tidak bisa memasak.”
“Aku hanya ingin berterima kasih padamu,” protes Sandy.
“Sudahlah, tidak usah. Hari ini kita makan di luar saja. Aku yang traktir.”
“Makan di luar? Kau ini bagaimana? Kau ingin orang-orang melihat kita?”
“Kalau dilihat pun kenapa? Bukankah kemarin wartawan sudah terlanjur tahu siapa dirimu?”
Sandy tepekur. Benarkah hal itu baru terjadi kemarin? Kenapa sepertinya sudah lama sekali?
“Sebentar lagi wajahmu akan terpampang jelas di tabloid. Apa lagi yang bisa disembunyikan? Seluruh Korea akan tahu kau kekasihku. Apakah aku tidak boleh makan malam dengan kekasihku sendiri?”
Sandy merasa jantungnya seakan berhenti berdegap dan napasnya tertahan. Apa yang terjadi pada dirinya?
“Halo? Sandy, kau masih di sana?”
Sandy tersentak. “Ya… ya.”
“Ya sudah, aku tutup dulu.”
Perlahan Sandy meletakkan telepon. Ada apa dengannya? Ketika tadi Jung Tae-Woo berkata…
Sandy menepuk pipi dengan kedua tangannya. “Sandy, sadarlah,” katanya pada dirinya sendiri. “Banyak hal yang lebih penting yang harus kaupikirkan.”
*Nasi campur khas Korea dengan berbagai macam sayuran dan bumbu lada merah kental.


~~~#~~~

“Jung Tae-Woo ssi, kau serius mau makan di sini?” Sandy tahu suaranya terdengar khawatir.
Ia dan Jung Tae-Woo sedang berada di dalam lift yang membawa mereka ke lantai teratas gedung hotel itu. Setelah tahu Jung Tae-Woo akan mengajaknya makan malam di restoran hotel mewah, ia tidak bisa menekan rasa cemas di hatinya.
“Memangnya kenapa?” tanya Jung Tae-Woo tanpa menatap Sandy.
Sandy merentangkan tangan. “Lihat pakaianku. Aku tidak bisa masuk ke restoran itu. Bisa-bisa aku diusir.” Ia hanya mengenakan kemeja lengan pendek dan celana panjang jins milik Young-Mi.
“Siapa yang berani mengusirmu?” tukas Jung Tae-Woo. “Tidak ada yang salah dengan pakaianmu. Ayo, masuk.”
Pintu lift terbuka dan tanpa menunggu komentar Sandy lebih lanjut, Jung Tae-Woo berjalan sambil menarik tangan gadis itu. Mereka masuk ke restoran dan segera disambut salah satu pelayan yang langsung mengantarkan mereka ke meja untuk berdua di dekat jendela kaca besar. Restoran itu cukup sepi, lampu-lampunya menyala redup menciptakan suasana remang-remang. Selain suara percakapan yang sepertinya dilakukan dengan berisik, terdengar alunan lembut musik jazz. Tidak banyak tamu yang terlihat dan itu bukan hal yang mengherankan. Tentunya hanya orang-orang dari kalangan kelas ataslah yang bisa makan di tempat seperti ini.
“Wah, bagus sekali,” Sandy bergumam senang ketika melihat ke luar jendela. Pemandangan malam kota Seoul dari ketinggian memang menakjubkan. “Kita ada di lantai berapa ya? Tinggi sekali.”
“Ah, aku lupa,” kata Jung Tae-Woo tiba-tiba.
Sandy menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya-tanya.
“Kau tunggu di sini sebentar. Aku harus mengambil sesuatu,” kata Jung Tae-Woo sambil bangkit dari kursi.
“Oke. Jangan lama-lama,” sahut Sandy. Lalu ia kembali mengagumi kerlap-kerlip cahaya lampu kota Seoul di bawah sana.
Beberapa menit berlalu dan Jung Tae-Woo belum kembali. Sandy mendesah dan memandang ke sekeliling ruangan. Akhirnya ia bangkit dan berjalan ke toilet. Ketika Sandy keluar dari toilet dan sedang berjalan kembali ke mejanya, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Sandy berbalik mengikuti sumber suara dan melihat wanita cantik bertubuh langsing dan tinggi sedang melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar. Perasaan Sandy langsung tidak enak begitu melihat wanita itu. Perasaannya pun bertambah berat seiring langkah yang diambil wanita itu untuk mendekati dirinya.

“Wah, Han Soon-Hee. Apa kabar? Aku tidak menyangka bisa berjumpa denganmu di sini,” sapa wanita itu dengan ramah, tapi bagi telinga Sandy keramahan itu terdengar dibuat-buat, sama seperti senyumnya.
Sandy hanya tersenyum samar. “Apa kabar, son-bae*? Lama tidak bertemu.”
Jin Da-Rae mengibaskan rambut panjangnya dan berkata, “Jeong-Su ssi akan ke sini sebentar lagi. Kau sendirian?” Namun tanpa menunggu jawaban Sandy, Jin Da-Rae meneruskan, “Kebetulan aku bertemu denganmu, ada yang ingin kubicarakan.”
Sandy diam saja, berdiri bergeming, dan menunggu kata-kata selanjutnya.
Jin Da-Rae menatap Sandy dalam-dalam. “Aku sudah mendengar tentang apartemenmu yang terbakar dari Jeong-Su ssi. Aku senang kau selamat. Tapi aku agak mengkhawatirkan Jeong-Su ssi.”
Alis Sandy terangkat kaget. Apa yang sedang dia bicarakan?
“Aku tidak suka berputar-putar, jadi aku akan bicara langsung saja. Aku melihat Jeong-Su ssi ikut cemas karena kejadian yang kaualami. Padahal seharusnya ia tidak perlu repot-repot seperti itu karena kau baik-baik saja. Ya, kan? Bagaimanapun juga hubungan kalian sudah lama berakhir. Masalahmu sudah bukan masalahnya lagi.”
Sandy tersenyum pahit. “Son-bae—“
“Oh, Soon-Hee.”
Sandy menoleh dan melihat Lee Jeong-Su menghampiri mereka. Ia mendesah dan berpikir kenapa kedua orang itu bisa datang ke tempat ini pada saat yang sama dengan dirinya.
“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Lee Jeong-Su sambil menatap Sandy dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Sandy merasa risi diamati seperti itu, apalagi Jin Da-Rae juga sedang menatapnya tajam.
“Kau lihat sendiri, dia tidak apa-apa,” sela Jin Da-Rae sambil menyelipkan lengannya ke lengan Lee Jeong-Su. “Benar, bukan, Soon-Hee?”
Sandy meringis. “Ya, seperti yang bisa kalian lihat.”
“Kau sekarang tinggal di mana?” tanya Lee Jeong-Su lagi dan Sandy melihat air muka Jin Da-Rae langsung berubah.
“Di rumah teman,” jawab Sandy pendek.
“Oh ya, kau sendirian? Bagaimana kalau bergabung dengan kami?” tanya Jeong-Su mengalihkan pembicaraan.
Astaga. Apakah kedua orang itu sungguh-sungguh berpikir ia sudah begitu putus asanya sampai memutuskan untuk datang ke restoran semewah ini sendirian?
*kakak kelas atas.

~~~#~~~

Jin Da-Rae menarik lengan Lee Jeong-Su dan cepat-cepat menyela, “Tadi Soon-Hee bilang dia sedang menunggu temannya. Nanti temannya malah merasa tidak enak kalau diajak bergabung karena tidak kenal dengan kita.”
Sandy ingin sekali tertawa keras-keras melihat sikap kakak kelas atasnya yang seperti anak berumur lima tahun yang tidak mau melepaskan boneka beruang kesukaannya. Kapan ia pernah memberitahu Jin Da-Rae ia sedang menunggu seseorang? Tapi herannya tebakan wanita itu benar. Ia memang sedang menunggu Jung Tae-Woo.
“Maaf, sudah menunggu lama?”
Sandy dan dua orang yang berdiri di hadapannya itu serentak menoleh ke arah sumber suara. Jung Tae-Woo menghampiri Sandy sambil tersenyum lebar dan dengan kedua tangan di belakang punggung. Sandy mendengar sentakan napas Jin Da-Rae. Ada sedikit rasa puas di hati Sandy ketika melihat Jung Tae-Woo muncul, apalagi didukung kenyataan bahwa Jung Tae-Woo artis terkenal.

“Sudah menunggu lama?” tanya Jung Tae-Woo sekali lagi sambil menatap lurus ke arah Sandy, mengabaikan dua orang yang ada di dekatnya.
“Oh, tidak. Tidak lama,” sahut Sandy agak linglung.
“Tadi aku pergi membeli ini,” kata Jung Tae-Woo.
Sandy tercengang melihat seikat besar mawar merah yang disodorkan Jung Tae-Woo ke arahnya.
Setelah Sandy menerima bunga yang disodorkan Jung Tae-Woo, laki-laki itu seakan baru menyadari kehadiran dua orang lain yang melongo memerhatikan mereka. “Oh, maafkan saya. Saya tidak melihat anda tadi. Apa kabar? Anda teman-teman Sandy, ah, maksudku Soon-Hee?”
Sandy melihat mata Jin Da-Rae berkilat-kilat, tatapannya tertuju lekat pada Jung Tae-Woo. “Anda Jung Tae-Woo ssi, bukan?” tanyanya bersemangat.
“Benar,” kata Jung Tae-Woo ramah. “Dan hari ini saya berencana menikmati makan malam yang romantis.” Ia mengangkat sebelah tangannya dan merangkul bahu Sandy.
Sandy menatap Jung Tae-Woo dengan pandangan terkejut, kemudian matanya ganti memandang dua orang di hadapannya yang juga sedang menatapnya bingung.
“Sepertinya anda berdua juga ingin menikmati makan malam yang romantis,” Jung Tae-Woo melanjutkan dengan nada ramah seperti tadi. “Kami tidak akan mengganggu acara anda lebih lama lagi. Senang berjumpa anda berdua.”

Selesai berkata begitu, dengan masih merangkul bahu Sandy, Jung Tae-Woo menuntunnya kembali ke meja mereka.
“Terima kasih atas mawarnya,” kata Sandy ketika mereka sudah duduk kembali. Ia memandang bunga pemberian Jung Tae-Woo dengan gembira.
“Kau suka?”
“Mm, suka sekali.” Sandy menatap Jung Tae-Woo sambil tersenyum. “Kau sering memberikan bunga untuk wanita?”
Laki-laki itu hanya meringis. “Menurutmu begitu?”
“Ngomong-ngomong, memangnya hari ini hari apa?”
“Kenapa?”
“Kita makan di restoran mewah. Lalu mawar ini.” Sandy menatap Jung Tae-Woo sambil berusaha mengingat. “Hari ini hari ulang tahunmu?”
Jung Tae-Woo tertawa. “Kalau aku yang berulang tahun, kenapa aku yang memberimu bunga? Bukankah seharusnya aku yang menerima hadiah?”
Sandy berpikir-pikir lagi. “Kau baru tanda tangan kontrak baru atau semacamnya?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa?”
Jung Tae-Woo tersenyum lebar. “Nanti kau akan tahu sendiri.”
Sandy memiringkan kepala, lalu mengangkat bahu.
“Laki-laki yang tadi itu mantan pacarmu?” tanya Jung Tae-Woo dengan hati-hati.
Sandy mendesah. “Mm, dan wanita yang bersamanya itu kakak kelasku yang sekarang menjadi pacarnya.”
Jung Tae-Woo menatapnya. “Kau ingin kita pergi ke tempat lain?”
Sandy tertawa. “Untuk apa?”
Jung Tae-Woo masih terlihat kurang yakin.
“Tidak apa-apa,” kata Sandy menenangkan. “Bukankah ada kau yang menemaniku di sini?”
Jung Tae-Woo tersenyum. “Benar, ada aku di sini. Nah, sekarang kau mau makan apa?”


~~~#~~~

Lee Jeong-Su tidak menikmati makan malamnya. Ia terus-menerus melirik ke arah meja Soon-Hee dan Jung Tae-Woo. Ia berharap gadis itu menoleh ke arahnya, tapi kenyataannya Soon-Hee tidak meliriknya sama sekali. Gadis itu mengobrol dan tertawa gembira dengan Jung Tae-Woo. Tentu saja Jeong-Su sudah pernah membaca tentang hubungan Jung Tae-Woo dengan Soon-Hee, tapi waktu itu ia masih tidak ingin percaya. Hari ini Jeong-Su benar-benar melihat mereka berdua dengan mata kepalanya sendiri dan ternyata memang seperti yang ditulis di tabloid. Ia harus mengakui ia sama sekali tidak ingin melihat mereka berdua bersama.
“Jeong-Su ssi, aku sedang bicara padamu.”
Jeong-Su tersentak dan menatap wanita yang duduk di hadapannya. Jin Da-Rae memang wanita yang cantik dan menawan. Wanita itulah alasannya meninggalkan Soon-Hee dulu. Tapi sekarang sepertinya ada sedikit penyesalan dalam hatinya.
“Aku tidak menyangka Soon-Hee punya teman yang terkenal seperti Jung Tae-Woo. Bagaimana bisa?” kata Jin Da-Rae sambil mengerutkan kening. “Aku memang pernah membaca di majalah tentang hubungan Jung Tae-Woo dengan wanita yang bernama Han Soon-Hee, tapi aku tidak menyangka berita itu benar dan wanita yang dimaksud adalah Han Soon-Hee yang ini.”
Jeong-Su hanya bergumam tidak jelas menanggapi perkataannya.
“Nah, kau sudah tidak perlu mengkhawatirkannya karena sekarang dia sudah punya pacar yang terkenal,” Jin Da-Rae melanjutkan tanpa memandang Jeong-Su.
Jeong-Su bergumam sekali lagi dan melirik ke arah Soon-Hee. Gadis itu tertawa sambil menutup mulut dengan sebelah tangan, sedangkan Jung Tae-Woo menatapnya sambil tertawa kecil. Apa yang mereka tertawakan? Apa yang mereka bicarakan? Kapan terakhir kalinya ia melihat Soon-Hee tertawa seperti itu? Ia sudah lupa. Tiba-tiba saja ia merasa rindu pada tawa gadis itu.
“Lee Jeong-Su ssi!”
Jeong-Su tersentak sekali lagi mendengar namanya disebut dengan nada tinggi.
Jin Da-Rae sedang menatapnya kesal. “Kau sama sekali tidak mendengarkan apa yang baru saja kukatakan, kan?”
“Tentu saja aku mendengarkan,” Jeong-Su mencoba membantah.
“Bagaimana kau bisa mendengarku kalau kau terus memerhatikan Han Soon-Hee?”
“Aku tidak memerhatikannya.”
Jin Da-Rae mengangkat kedua tangan. “Sudah cukup. Sekarang juga aku ingin pergi dari sini. Kita pergi ke tempat lain saja.”
Jeong-Su mengerutkan kening. “Da-Rae, kau sendiri yang bilang kau ingin makan malam di sini. Kenapa sekarang kau ingin pergi?”
Jin Da-Rae melipat tangan di depan dada dan mendengus kesal. “Aku berubah pikiran. Aku ingin pergi ke tempat lain. Ayo, kita pergi.”
Tanpa menunggu lagi, Jin Da-Rae meraih tas tangannya dan bangkit dari kursi. Jeong-Su berusaha menahannya, tapi tidak berhasil. Ia mendesah dan menoleh ke arah Soon-Hee sekali lagi. Tentu saja gadis itu tidak sedang melihat ke arahnya. Jeong-Su menarik napas, membayar makanan, dan menyusul Jin Da-Rae.


~~~#~~~

Sandy menyadari kepergian Jin Da-Rae dan Lee Jeong-Su dari restoran itu. Jung Tae-Woo juga.
“Mereka pergi,” kata Tae-Woo sambil melihat ke arah pintu restoran.
Sandy hanya berdeham dan menatap piringnya yang sudah hampir kosong. Ia kesal. Kenapa perasaannya masih tidak enak ketika melihat Lee Jeong-Su dan Jin Da-Rae bersama? Kenapa ia masih belum bisa melupakan masalah delapan bulan yang lalu? Tidak mungkin ia masih mengharapkan Lee Jeong-Su, kan?
“Lagi-lagi ekspresi itu.”
Sandy mengangkat wajahnya dan memandang Jung Tae-Woo. Laki-laki itu sedang mengamati wajahnya. “Apa?” tanya Sandy.
Jung Tae-Woo menyandarkan punggung ke kursi dan tersenyum kecil. “Setiap kali menyebut nama mantan pacarmu dan setiap kali kau menerima telepon darinya, ekspresi wajahmu pasti jadi seperti itu. Ekspresi wajah yang tertekan, seakan-akan kau harus menyelesaikan semua masalah yang ada di dunia.”
Sandy menunduk. “Maaf.”
Jung Tae-Woo memandang ke luar jendela. “Nah, apa yang bisa kita lakukan agar kau tidak memasang wajah seperti itu lagi? Mmm… Ah, aku tahu!”
Sandy menatap Jung Tae-Woo dengan penuh rasa ingin tahu.
Jung Tae-Woo berpaling kembali ke arahnya sambil tersenyum lebar. “Tunggu sebentar.”
Sandy bertambah bingung ketika Jung Tae-Woo bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari restoran. Apa yang akan dilakukannya?
Tidak lama kemudian Jung Tae-Woo kembali dan berkata kepada Sandy, “Setelah makan, aku akan membawamu ke suatu tempat.”

Ketika mereka sudah menyelesaikan makan malam mereka, Jung Tae-Woo membawa Sandy turun ke lantai dasar gedung hotel itu.
“Jung Tae-Woo ssi, kita mau ke mana?” tanya Sandy ketika mereka menyeberangi lobi utama hotel.
“Kau akan tahu,” Jung Tae-Woo menjawab pendek.
Ternyata Jung Tae-Woo membawanya ke taman belakang hotel. Taman itu luas sekali dengan kolam renang besar di tengah-tengahnya. Lampu-lampu taman dinyalakan sehingga walaupun hari sudah malam, taman itu tidak terlihat gelap. Lampu-lampu di dalam kolam renang juga dinyalakan sehingga mereka bisa melihat dasar kolam renang dengan jelas.
“Ah, menyenangkan sekali berada di udara terbuka,” kata Jung Tae-Woo sambil duduk di salah satu kursi kayu di pinggir kolam renang.
Sandy melihat ke kiri dan kanan dengan bingung. Kenapa Jung Tae-Woo membawanya ke sini? Tidak ada orang lain di taman itu. Meski sepi sekali, Sandy menikmati kesunyian itu.
“Jung Tae-Woo, kenapa kita ke tempat ini?” tanyanya sambil duduk di kursi di samping laki-laki itu.
“Kalau tidak salah, beberapa hal yang bisa membuatmu bahagia adalah mendengarkan musik, makan keripik kentang, bunga, kembang api, hujan, dan bintang. Aku benar, kan?”
Sandy agak kaget mendengar kata-kata Jung Tae-Woo. Ia sendiri tidak ingat kapan ia memberitahu Tae-Woo tentang hal itu.
Jung Tae-Woo melanjutkan, “Sekarang aku tidak punya keripik kentang, aku tidak tahu kau suka musik apa. Bunga, kau sudah memegangnya.”
Sandy menatap mawar yang sedang dipeluknya. Ia masih tidak mengerti apa yang ingin dikatakan Jung Tae-Woo.
Jung Tae-Woo mendongak menatap langit yang gelap dan berkata, “Tidak ada bintang malam ini dan sayang sekali aku tidak bisa memanggil hujan.” Ia menoleh ke arah Sandy. “Kalau begitu, hanya tinggal satu yang bisa dilakukan.”
Alis Sandy terangkat ketika Jung Tae-Woo mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
“Halo? Ya, Anda bisa memulainya sekarang,” katanya kepada seseorang di ponsel. Setelah itu ia menutup ponsel dan tersenyum kepada Sandy. Ia mengangkat sebelah tangan dan menunjuk ke langit. “Coba lihat di sana.”
Sandy memandang ke langit yang gelap dengan dahi berkerut. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Jung Tae-Woo. Ia baru saja akan membuka mulut untuk bertanya lagi ketika ia mendengar bunyi desingan lalu letupan. Saat itu juga matanya melihat cahaya warna-warni di langit. Bunyi desingan dan letupan itu terdengar lagi, sambung-menyambung. Langit malam pun tampak semakin semarak dengan cahaya indah warna-warni.
Kembang api! Banyak sekali kembang api!
Tanpa sadar Sandy berdiri dari kursinya. Sebelah tangannya terangkat ke mulut. Matanya terpaku pada berkas-berkas sinar yang meluncur ke langit dan meledak menjadi bunga-bunga api. Ini pertama kalinya ia melihat kembang api sebanyak itu secara langsung dan merasa begitu takjub sampai-sampai dadanya terasa sesak.
“Bagaimana?”
Sandy menoleh dan melihat Jung Tae-Woo berdiri di sampingnya. Ia kembali menatap langit. “Ini pertama kalinya aku melihat kembang api sungguhan, dan bukan dari televisi.”
“Perasaanmu sudah baikan?”
Sandy menoleh kembali ke arah Jung Tae-Woo. Ia tidak menyangka ternyata laki-laki itu sedang berusaha menghiburnya. Sandy tersenyum dan berkata, “Jauh lebih baik. Kau tahu kau tidak perlu melakukan semua ini. Tapi, bagaimanapun, terima kasih.”
Jung Tae-Woo balas tersenyum. “Aku tahu akhir-akhir ini kau merasa tertekan. Kau sudah membantuku. Jadi kalau aku bisa membantu meringankan sedikit bebanmu, kenapa tidak? Aku hanya ingin melihatmu gembira seperti sekarang, itu saja.”
“Haah… malam ini indah sekali,” kata Sandy ketika ia dan Jung Tae-Woo tiba di rumah. Sandy menciumi mawar yang ada dalam pelukannya dan tersenyum-senyum sendiri.
Sementara itu Jung Tae-Woo sudah berjalan ke arah dapur, membuka lemari es, mengeluarkan sebotol air dingin, dan meminumnya langsung dari botolnya.
“Kau punya vas bunga?” tanya Sandy.
“Entahlah, tapi kalau tidak salah ada di dalam lemari yang itu.” Ia menunjuk lemari dapur lalu berjalan ke pianonya.
Sandy membuka-buka lemari sambil bersenandung pelan. “Ini dia.” Ia mengeluarkan vas bunga berwarna biru, mengisinya dengan air, dan memasukkan bunga mawarnya ke sana. Ia mendengar Jung Tae-Woo memainkan beberapa nada lagu di pianonya.

Sandy menoleh ke arah Tae-Woo. “Jung Tae-Woo ssi, nyanyikan satu lagu,” pintanya. Lalu ia menghampiri laki-laki itu sambil membawa vas bunganya.
“Bukankah aku pernah bilang kau harus membayar kalau mau mendengarkanku menyanyi?”
Sandy meletakkan vas bunga di atas piano dan meringis. “Bukankah kau bilang kau mau membuatku gembira?”
Alis Jung Tae-Woo terangkat. “Aku pernah bilang begitu?”
Sandy mengangguk. “Kau juga pernah bilang kau akan memberikan apa pun yang kuinginkan kalau aku bersedia berfoto denganmu. Sudah lupa?”
“Aku pernah bilang begitu?” Jung Tae-Woo menengadah dan berusaha mengingat-ingat.
Sandy mengangguk dan bersandar pada piano, menunggu Jung Tae-Woo memulai lagunya.
Jung Tae-Woo mendesah. “Baiklah, kau ingin mendengar lagu apa?”
Sandy berpikir sejenak, lalu berkata, “Lagunya Jo Sung-Mo. Piano. Aku suka sekali lagu itu. Amat sangat romantis.”
Jung Tae-Woo menggaruk-garuk kepalanya. “Piano? Kenapa kau meminta lagu yang sedih? Tidak ada lagu lain yang lebih menyenangkan?”
“Tapi lagu itu bagus. Tidak suka? Kalau begitu, terserah kau saja mau menyanyikan lagu apa,” kata Sandy cepat-cepat.
Jung Tae-Woo berpikir sebentar, lalu meletakkan jari-jarinya di atas tuts piano dan mulai memainkannya sambil bernyanyi dalam bahasa Inggris.


I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I think to myself, what a wonderful world

Sandy bertepuk tangan dengan gembira ketika mengenali lagu What A Wonderful World yang sedang dinyanyikan Jung Tae-Woo itu.


I see skies of blue, and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself, what a wonderful world
The colours of the rainbow so pretty in the sky
Are also on the faces of people going by 
I see friends shaking hands saying, “How do you do?”
They're really saying, “I love you”
I hear babies crying, I watch them grow
They'll learn much more than I'll ever know
And I think to myself, “What a wonderful world”
Yes I think to myself, “What a wonderful world”

Walaupun bahasa Inggris aktif Sandy tidak terlalu lancar, ia bisa mengerti bila mendengar orang lain berbicara dalam bahasa itu. Lagu yang dinyanyikan Jung Tae-Woo membuat dirinya seolah terbang ke angkasa, begitu damai, ringan, walaupun ia kembali menginjak bumi setelah lagu itu berakhir.
“Bagus sekali, bagus sekali,” puji Sandy sambil bertepuk tangan. “Tidak sia-sia kau tinggal lama di Amerika. Bahasa Inggris-mu sangat bagus.”
Jung Tae-Woo hanya tertawa kecil. “Sudah paus?”
“Mmm, puas dan senang,” ujar Sandy.
Jung Tae-Woo merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan kotak berbentuk persegi hijau berhiaskan pita kuning. Ia meletakkan kotak itu di atas piano dan mendorongnya ke arah Sandy.

Sandy mengangkat alisnya begitu melihat kotak itu. “Apa ini?” “Buka saja.”
Sandy membuka kotak itu dan tercengang ketika melihat di dalamnya ada ponsel yang sama persis seperti ponselnya yang hilang dalam kebakaran.
“Selamat ulang tahun.”
Sandy mengangkat wajahnya dan menatap Jung Tae-Woo dengan pandangan bingung dan kaget.
Tanpa menunggu kata-kata Sandy, Jung Tae-Woo melanjutkan, “Susah sekali menghubungimu kalau kau tidak punya ponsel. Sebenarnya aku ingin membeli ponsel yang lain sehingga kau tidak akan salah mengambil ponselku lagi, tapi aku berubah pikiran. Bagaimana? Aku juga sudah meminta nomor yang sama, jadi ponsel itu masih menggunakan nomor yang sama seperti ponselmu yang dulu. Bisa langsung digunakan.”
“Ooh… Terima kasih.” Sandy masih agak bingung. Ia mengamati ponsel pemberian Jung Tae-Woo, lalu berkata lagi, “Tapi ulang tahun? Jung Tae-Woo ssi, ulang tahunku besok, bukan hari ini.”
Jung Tae-Woo tersenyum lebar dan menunjuk ke arah jam dinding di belakang Sandy. Sandy berbalik dan melihat jam dinding.
“Sudah lewat tengah malam. Jadi hari ini hari ulang tahunmu,” kata Jung Tae-Woo. “Kau bahkan tidak sadar ya? Berarti kejutan yang sudah kusiapkan bisa dikatakan berhasil?”
Sandy tertegun, lalu tertawa. “Astaga, jadi makan malam tadi, bunga, kembang api, dan ponsel ini, smeua itu untuk merayakan ulang tahunku?”
Jung Tae-Woo mengangguk. “Jangan lupa, aku juga baru menyanyikan lagu untukmu. Itu juga harus dihitung.”
“Bagaimana kau bisa tahu hari ulang tahunku?”
Jung Tae-Woo hanya tersenyum dan tidak menjawab.
Sandy masih bingung. “Tapi kenapa harus dirayakan malam sebelumnya? Kita bisa merayakannya beramai-ramai besok, maksudku hari ini, eh, besok. Ah, pokoknya bisa dirayakan pada harinya.”
“Sebenarnya pagi-pagi nanti aku harus berangkat ke Jepang, jadi aku tidak bisa ikut merayakan ulang tahunmu pada harinya,” Jung Tae-Woo menjelaskan.
“Ke Jepang?” tanya Sandy. “Untuk apa?”
“Kerja,” sahut Jung Tae-Woo. “Kau kira untuk berlibur?”
“Berapa lama kau akan di sana?”
Jung Tae-Woo mengangkat bahu. “Belum tentu, tapi mungkin sekitar tiga hari.”
Sandy merenung.
“Oh ya, bagaimana ini? Tidak ada kue ulang tahun,” kata Jung Tae-Woo tiba-tiba.
“Tidak perlu kue segala,” sela Sandy. “Sudah banyak yang kaulakukan malam ini. Bagiku itu sudah lebih dari cukup dan aku sangat gembira.”
“Terharu juga?”
“Terharu juga. Aku belum pernah merayakan ulang tahunku di tengah malam.” Sandy tertawa.
Jung Tae-Woo bangkit dari kursi piano dan berkata, “Baiklah, sudah malam, kau—“
“Tunggu dulu.” Sandy menahannya. “Nyanyikan satu lagu lagi ya?”
“Lagi?”
“Ayolah,sekali lagi saja,” katanya sambil duduk di samping Jung Tae-Woo. “Aku suka melihatmu memainkan piano.”
Jung Tae-Woo menyerah dan duduk kembali. “Baiklah, lagu apa?”
“Terserah kau saja.”
Jung Tae-Woo menatap tuts-tuts pianonya sambil berpikir, lalu ia mengangkat wajahnya dan menoleh menatap Sandy. “Ini salah satu lagu favoritku. Judulnya Fly Me to the Moon.”
Kemudian Sandy memerhatikan jari-jari panjang Jung Tae-Woo menari-nari di atas tuts-tuts piano sementara bunyi dentingan piano yang lembut dan suara Jung Tae-Woo yang indah menghiasi kesunyian malam.  


Poets often use many words to say a simple thing
It takes thought and time and rhyme to make a poem sing
With music and words I've been playing
For you I have written a song
To be sure that you know what I'm saying
I'll translate as I go along

Sambil bernyanyi, Jung Tae-Woo sesekali melihat ke arahnya dan mereka berdua tersenyum. Sandy tidak pernah merasa begitu… begitu… istimewa. Ya, istimewa. Makan malam, mawar, kembang api, hadiah yang diberikan Jung Tae-Woo untuknya, dan sekarang ia sedang duduk di sebelah Jung Tae-Woo sambil mendengarkan laki-laki itu menyanyi khusus untuknya. Ia merasa bahagia. Entah sejak kapan ia menyadari jantungnya berdebar dua kali lebih cepat setiap kali ia bertemu pandang dengan Jung Tae-Woo atau bila laki-laki itu tersenyum kepadanya. Entah sejak kapan juga ia mulai suka mendengar Jung Tae-Woo bernyanyi. Matanya kini tidak bisa lepas dari sosok Jung Tae-Woo yang bernyanyi sambil memainkan piano.

Fly me to the moon and let me play among the stars
Let me see what
Spring is like on Jupiter and Mars
In other words, hold my hand other words, darling, kiss me
Fill my heart with song and let me sing forever more
You are all I long for, all I worship and adore other words, please be true other words, I love you

(Hiro, album: Coco d‟Or)